Senin, 29 Desember 2008

Aku dan Semesta

Semesta bertindak
Semesta bercakap
Semesta berpikir
Semesta mendengar, dan Semesta berkehendak
Seruan alam berdengung keseluruh jagad
Aku masih sibuk sendirian sambil menulis
Aku ingin mengenang, dikenang, dan terkenang oleh semesta yang selalu dinamis
Aku pada akhirnya hanya ingin bercerita

Senin, 22 Desember 2008

Menyentil Kemanusiaan Kita Lewat HAM

“Peringatan”
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan !
(Wiji Thukul)



Manusia. Saya adalah manusia. Aufira Utami adalah manusia. Djohan Rady adalah manusia. Hery Dwi Prasetyo adalah manusia. Taufik Basari adalah manusia. Munir adalah manusia. Begitu pula dengan Raharja Waluya Jati, Nezar Patria, Nani Nurani, Andi Arief, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Ibu Sumarsih, Wiji Thukul, Pak Bejo, dan mereka yang diberkahi dengan akal pikiran dan hati nurani adalah manusia. Siapa yang menyangkal fakta tak terbantahkan tersebut? Dia? Mereka? Soeharto? Prabowo? atau mungkin mereka semua yang punya “kuasa” atas negeri yang sedang mereka pimpin? Jawabannya: TIDAK! Tidak seorangpun yang dapat menyangkal bahwa saya, kamu, anda, dia,, mereka, kita adalah manusia karena kita memiliki akal pikiran dan terlebih lagi hati nurani.

Manusia. Satu kata itulah yang menyatukan saya, kamu, anda, dia, mereka. Karena kita sama-sama manusia. Keberagaman yang ada dan melekat pada setiap kita entah itu warna kulit, bahasa, ciri fisik, agama, jenis kelamin, kebudayaan, dan seterusnya tidak bisa mereduksi siapa diri kita sesungguhnya, seorang manusia yang memiliki akal pikiran serta hati nurani. Dan itulah yang mendasari segala kebebasan serta kemerdekaan kita. Pada pasal 1 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ditekankan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kemerdekaan dan mempunyai martabat serta hak-hak yang sama dengan manusia yang lain tanpa ada pembedaan pun.1 Sehingga tidak ada seorang yang berhak merampas itu semua dari manusia lain tanpa alasa apapun.

Kehidupan masyarakat yang berlandaskan keadilan, kemerdekaan, serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia masih merupakan sesuatu yang utopis diwujudkan terutama di negeri yang katanya menjunjung Ke-Bhineka-an di dalam masyarakatnya. Sungguh sesuatu yang amat mustahil terwujud bagi saya. Karena landasan mendasar berupa keadilan, kemerdekaan, serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia belum dipenuhi dan dijamin sepenuhnya oleh para penyelenggara negara di negeri yang ber-Bhineka ini. Rakyat belum sepenuhnya, memperoleh hak-haknya; hak untuk hidup layak, hak memperoleh pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, hak untuk bekerja, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak memperoleh kesamaan hukum dan berbagai macam hak lainnya

Sejarah mencatat bagaimana penegakkan HAM di negeri ini belum mendapatkan tanggapan serius oleh pemerintah, berbagai kasus mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya tidak kunjung mendapat kejelasan dan kepastian seperti kasus penculikan dan pemenjaraan banyak orang yang dianggap simpatisan PKI di tahun 1965. Salah seorang diantaranya ialah Ibu Nani Nurani, seorang penyanyi dan penari istana ditahun 60-an, ditangkap dan dipenjarakan selama kurang lebih tujuh tahun tanpa proses pengadilan dan tanpa tahu sebab pasti mengapa dirinya ditangkap, walaupun desas desus yang beredar karena ia dianggap sebagai mata-mata PKI. Selain itu ada juga kasus penembakan misterius di tahun 1983–1984 yang menewaskan lebih dari 300 orang. Kasus penembakan masyarakat sipil di Tanjung Priok tahun 1984, hingga kasus penculikan paksa serta penghilangan para aktivis seperti yang menimpa Raharja Waluya Jati, Andi Arief, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Wiji Thukul, Yani Avri dan masih banyak lagi yang terjadi ditahun 1996-1998 dimana sebagian diantara mereka masih dinyatakan hilang sampai sekarang.

Sungguh merupakan ironi tersendiri bagi sebuah negara yang menjunjung ke-Bhineka-an dimana menekankan keberagaman sebagai sesuatu yang menyatukan kita semua. Tetapi ternyata ke-Bhineka-an yang dijunjung tersebut dan dijabarkan secara jelas di dalam Pancasila dan UUD 1945 itu hanyalah slogan yang indah diucapkan saja tetapi pahit dalam pelaksanaannya. Buktinya pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh negara dengan alatnya yaitu TNI dan polisi yang seharusnya menjamin kebahagiaan hidup serta pemenuhan-pemenuhan hak asasi rakyatnya justru malah membungkamnya.

Para korban pelanggaran HAM tidak hanya tertekan secara psikologis tetapi juga mengalami siksaan fisik, sosial, ekonomi, dan lainnya. Bapak Kaslin Sastrowidjojo merupakan salah seorang korban penangkapan paksa di tahun 1965. Ia dituduh berpihak kepada PKI padahal sebenarnya ia termasuk seorang pahlawan yang telah berjuang jiwa raga demi menjaga keutuhan bangsa. Pada tahun 1945, Pak Kaslin memimpin proklamasi kemerdekaan di Ambarawa. Hingga detik ini Pak Kaslin tidak diketahui nasibnya, apakah sudah meninggal atau tidak. Karena keluarganya tidak pernah tahu apakah Pak Kaslin dibebaskan dari penjara atau tidak. Yang jelas ia menghilang untuk selama-lamanya. Ditangkapnya Pak Kaslin tentu membawa duka tersendiri bagi orang-orang yang menyayanginya, terutama bagi istri dan anaknya, keluarga Pak Kaslin kehilangan tulang punggung mereka. Gaji Pak Kaslin yang sebelumnya bisa diambil oleh anaknya, tiba-tiba saja ditahan dan tidak bisa diambil lagi. Sehingga otomatis keluarga ini kehilangan sumber pendapatannya. Tidak hanya itu, tekanan sosiall yang dialami keluarga Pak Kaslin juga cukup memilukan. Negara pada saat pemerintahan Soeharto sukses menciptakan citra buruk bagi orang-orang “Kiri”. Mereka dianggap sebagai orang yang amat jahat, tidak ber-Tuhan, dan pembunuh. Anak Pak Kaslin, Suswardoyo mendapat perlakuan distrimanatif ketika orang-orang tahu ia adalah anak tapol. Suswardoyo yang masuk AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidan mendapatkan posisii yang bagus dan pangkatnya tidak pernah naik.2 .

Kisah Pak Kaslin berbeda dengan kisah Raharja Waluya Jati yang sempat menjadi korban penculikan paksa di tahun 1998. Jati ditangkap anggota Kopassus akibat keaktifannya menyuarakan kritikan-kritikan tajam semasa pemerintahan Soeharto. Jati sempat disiksa oleh orang-orang yang menculiknya, dimana ia dipukul bertubi-tubi, disetrum, ditidurkan diatas balok es, dan sebagainya hingga akhirnya dibebaskan.

Berbagai kisah yang dituturkan menjadi bukti bahwa penegakan HAM di Indonesia bukan menjadi prioritas utama bila dibandingkan dengan permasalahan-permasalahan lain yang menimpa Indonesia, seperti Pemilu, Krisis Global, Korupsi dan lain sebagainya. Usman Hamid, koordinator KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengatakan bahwa kondisi HAM di Indonesia begitu paradoks. Di satu sisi menimbulkan kemajuan, namun disisi lain juga mengalami kemunduran. Kemajuan yang dimaksud oleh Usman Hamid ialah setelah berakhirnya pemerintahan orde baru, Indonesia mulai meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang mengangkat isu-isu HAM, selain itu juga adanya pembaharuan peran pemerintah lewat amandemen UUD 1945 dan peraturan pemerintah. Jika sebelum reformasi peran pemerintah dalam hal ini Presiden dan pembantu-pembantunya begitu dominan dan otoriter,, maka setelah reformasi perangkat hukum yang mendukung kekuasaan pemerintah diamandemen dan bahkan dicabut demi tidak terjadi lagi kekuasaan yang begitu otoriter. Sedangkan kemunduran yang terjadi dalam rangka penegakan HAM di Indonesia adalah masih banyaknya kasus-kasus yang belum terselesaikan mulai dari kasus-kasus yang terjadi di tahun 1965 hingga 1998. Hall tersebut menandai bahwa belum cukup keseriusan pemerintah untuk mengusut tuntas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting. Banyaknya korban hanya dipandang sebatas permasalahan kuantitas semata. Padahal banyak diluar sana keluarga korban pelanggaran HAM yang meminta kejelasan kasus yang menimpa orang terkasih mereka. Status “hilang” yang disandang oleh sebagian korban pelanggaran HAM menimbulkan syok tersendiri bagi keluarga mereka. Ketidakpastian kondisi korban menempatkan keluarga mereka diposisi paling menyakitkan dalam hidup mereka. Harapan itu selalu ada walau kadang padam, tetapi sesungguhnya ia tidak pernah matii hingga sebuah kepastian datang, entah apapun itu.

Merujuk pada berbagai teori mengenai HAM, hampir semua pendapat mengakui bahwa setiap warga negara–manusia- dilahirkan dengan membawa kemerdekaan dan kebebasan. Thomas Hobbes mengakui bahwa asali manusia adalah sama dimana ia bebas atas dirinya. Di dalam kebebasan itu terkandung hak-hak yang dapat membuat manusia saling serang demi kepentingannya sendiri sehingga dihadirkannya peran negara dimana hak-hak tersebut diserahkan sepenuhnya kepada negara. Namun, semua hal itu dilakukan demii kebahagiaan dan ketentraman hidup warga negara-negaranya.3 Berbeda denganHobbes, John Locke juga mengakui bahwa manusia dilahirkan bebas dan merdeka dan sudah menjadi peran serta tugas negara menjaga hak-hak warga negaranya agar tidak terjadi chaos.4 Yang menjadi penekanan disini adalah adanya pengakuan hak-hak serta kebebasan setiap manusia dan peran negara adalah menjaga hak-hak tersebut serta mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan hidup seluruh warga negaranya tanpa terkecuali dan ada akses untuk menuju itu.

Jika kita kembali kepada konteks kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, jelas negara mengingkari sebagian hak-hak warganya diantaranya hak mengungkapkan pendapat, hak hidup bebas, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak kebenaran dan sebagainya. Karena sampai sekarang para korban tidak kunjung memperoleh haknya secara penuh sebagai seorang warga negara. Selain itu para pelaku yang seharusnya dihukum atau diadili dimuka pengadilan sampai sat ini masih bebas berkeliaran. Para penjahat kemanusiaan ini justru kian jumawa karir politiknya. Sebagian dari mereka seperti Wiranto dan Prabowo mencalonkan diri menjadi presiden pada pemilu 2009. sungguh aneh benar bangsa ini! Mereka yang tidak bersalah dan berusaha membela rakyat dari cengkeraman dan kediktatoran pemerintah dituduh subvertif, pengkhianat negara, disiksa, bahkan dibunuh secara keji atas nama stabilisasi bangsa, menjaga harmonisasi bangsa.. Sebenarnya apa itu harmonisasi, apa itu stabilisasi keamanan, apa itu kesatuan dan persatuan atas nama Pancasila dan UUD 1945? Semua itu dilakukan semata-mata demi menjaga wibawa negara di mata rakyatnya. Semua itu kepura-puraan. Semua itu omong kosong! Negara masih berkilah bahwa segala tindakan yang dilakukan demi menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan pada salah satu artikel terkait yang dimuat didalam koran KOMPAS tertanggal 19 Desember 2009, menteri pertahanan, Juwono Sudarsono mengatakan bahwa kasus-kasus masa lalu jangan dianggap berlebihan dan dikategorikan sebagai pelanggaran ham berat. Semua itu bersifat anekdotal. Lebih jauh ia mengatakan bahwa apa yang pernah terjadi dulu dalam kaitannya dengan peran TNI dan polisi sudah sesuai dengan prosedur bahwa aparat negara berhak melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga stabilisasi bangsa. Menurutnya permasalahan pelanggaran HAM biar menjadi sebatas penilaian publik tanpa perlu dibesar-besarkan. Jadi jika begitu siapakah yang hatus bertanggung jawab atas semua kasus pelanggaran ham yang terjadi kepada warga negaranya jika ngara saja hanya menganggap ini sebagai masalah sepele yang tidak perlu dipusingkan?

Bertolak dari teori Hobbes, mungkin saja segala tindakan yang dilakukan negara demi menjaga stabilitas dan harmonisasi itu dapat dibenarkan. Menurut Hobbes negara yang baik adalah negara yang berkuasa penuh atas warga negaranya dengan tujuan demi menciptakan ketentraman dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tetapi jika kita kembali kepada kondisi manusia yang sesungguhnya bebas dan merdeka, teori Hobbes itu dapat ditentang. Alasan pemerintah bisa ditentang dan dipertanyakan ulang. Kondisi masyarakat ala Hobbes berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang ini yang lebih sadar akan hak dan perannya. Atas alasan apapun negara tidak berhak mengingkari kebebasan warga negaranya yang peduli dengan nasib bangsanya. Universalisme HAM bagaimana pun harus ditegakkan! Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi berbagai konvensi seputar HAM perlu merealisasikannya. Tidak sekedar cap saja. Hal ini penting bagi masa depan bangsa itu sendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menjamin pemenuhan hak-hak warganya.

Selesaikanlah kasus-kasus pelanggaran HAM yang dulu pernah terjadi. Kembalikanlah hak-hak mereka yang dirampas seperti hak hidup bebas, hak ekonomi, hak reputasi, hak kebenaran, dan lainnya. Jika kita tetap mau konsisten bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum sebagai peraturan tertinggi dan bukan berdasarkan atas apa kata penguasa, maka jeratlah orang-orang yang menjadi dalang atas semua peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Hapuskan segala impunity yang terus dijaga oleh para penguasa. Negeri ini butuh bukti bukan janji. Para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM butuh kejelasan dan kepastian. Jangan berikan lagi mereka harapan jika tidak ingin diwujudkan. Mengakui kesalahan masa lalu yang pernah dilakukan negara akan mempersempit jurang kekuasaan itu. Jika perdana menteri Australia, Kevin Rudd dengan berbesar hati mau mengakui kesalahan yang dulu pernah dilakukan pemerintah terhadap suku Abongin, mengapa Indonesia tidak bisa jika katanya negeri ini menjunjung ke-Bhineka-an dan adat budaya bangsa timur yang “dianggap” tahu diri ?


Sumber Acuan :

Patrick Hayden : Philosophy of Human Rights
IKOHI : Mereka yang Hilang dan Mereka yang Ditinggalkan
Suciwati : Reformasi Tanpa Penegakan HAM (Suara Mahasiswa: No. 24 / XV / 2008)
Wawancara dengan Usman Hamid
Wawancara dengan Nani Nurani (13 Desember 2009)
Universalitas HAM: “Beyond Question” olehTaufik Basari, SH, S.Hum, LL.M (2006)
Kesaksian Diantara Ketakutan dan Ketidakpastian oleh Rajarja Waluya Jati.


*tulisan ini saya buat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah filsafat dan ham dengan dosen Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M

Harapan itu, harapan siapa?

Kubangun harapan itu yang kemudian berevolusi menjadi cita-cita
Pilarnya ku ingin menarik sebanyak mungkin harapan orang lain yang terkubur hingga yang tampak hanya karat
Kudengar sang arsitek-ayahku-berkata dahulu waktu itu,"Semaikan kebaikan itu dari ladang hatimu sendiri. Adil dan bijaksana adalah hal tersulit untuk dicapai,tetapi kita bisa jika sungguh-sungguh. Biarkan orang lain beroleh manfaat dari apa yang kita berikan selama itu tulus."
Kini kubangun istana itu perlahan, biarlah kujemput nestapa asal mereka tidak kehilangan harapan untuk terus hidup, asalkan mereka masih bisa tersenyum kepada dirinya dan dunia, asalkan hak itu ditegakkan
Untuk semua harapan yang pernah tersemai, ia sesungguhnya menuai
Semoga dapat kubangun cita-cita itu,saudara-saudariku

Senin, 15 Desember 2008

Di kereta ekonomi, hari ini dalam sebuah perjalanan

Sebenarnya apa nilai manusia itu? Seorang bocah lelaki berjalan zig-zag. Bukan untuk melucu! Ia buta. Tongkatnya bermain agak berisik ketika menuntun bocah lelaki itu. Penampilannya sangat sederhana tapi tak teratur. Kukira ia ingin mengemis. Tidak! Tidak, ia tidak mengemis bahkan menengadahkan tangannya pun tidak. Ia ingin duduk. Sekedar itu, tidak lebih. Ketika seorang penjual salak berseru semangat,"salak! Salak!", anak itu membeli satu salak dan dimakannya sendiri dengan raut muka penuh kepolosan dan rasa suka. Saya telah mencoba menarasikan si bocah buta itu. Dan saya menanyakan kembali, siapa dan apa manusia itu?

Minggu, 14 Desember 2008

Perginya Sang Marxist Religius

Salah seorang filsuf hari ini telah meninggalkan kita. Ia adalah Singkop Boas( maaf jika ada kesalahan nama). salah seorang filsuf itu pergi entah kemana, ke suatu tempat baru yang belum pernah kita ketahui karena kita belum pernah benar-benar pergi kesana.

Entah kenapa hati ini sakit dan pedih mendengar kabar duka tersebut. Momen-momen bersama dengan beliau dan juga teman-teman yang lain begitu indah dan lucu untuk dikenang. Narasi pohon pisang yang dikemukakannya terbukti secara ajaib, bahwa pisang rela mengorbankan sebagian dirinya untuk gugur agar tunas yang baru bisa tumbuh lebih baik lagi. Dan pak Boas adalah pohon pisang tersebut. Salah seorang filsuf entah siapa pernah berujar bahwa kehidupan itu adalah mengenai kematian. Kita hidup kemudian mati adalah untuk kelangsungan generasi mendatang. Tak ada manusia yang hidup kekal.

Pak Boas, selamat jalan. Kau adalah Marxist religius yang pernah saya tahu. Pergilah dengan damai dan sesuai dengan apa yang kau yakini. Terimakasih atas segala hal yang telah kau berikan kepadaku, sebuah pelajaran berharga bagaimana menjalani hidup ini dengan semangat dan kerja keras. Saya teringat dengan kata-katamu,"Jadilah seperti orang Jerman yang memulai sesuatu dari yang paling rumit dan jangan jadi orang Indonesia yangs selalu memulai segalanya dari yang paling gampang". Dan aku sedang menjadi orang tersebut, Pak.

Sekali lagi selamat jalan....

Rabu, 10 Desember 2008

Sense, kau jahat!

Lagi-lagi sense menipu. Telak! Mutlak! Absolut! Jika sense yang menipu tidak berkaitan langsung dengan hati dan roh, tak mengapa biar ditipu berapa kalipun. Sense itu penipu! Sense itu telah menipuku. Aku telah ditipu oleh sense. Dan aku meradang! Serasa bodoh dan sakit hati jadinya. Sense, aku terjatuh lagi. Entah harapan apa yang akan kau sodorkan padaku untuk membuatku kembali bangkit?