Kamis, 19 November 2009

L A U T

aku suka laut karena birunya membelah kumpulan coklat daratan yang kering sore ini

aku suka laut karena ombaknya berbisik dan menggelitik

aku suka laut karena ia mengantarkan bau garam padaku, merangsang diriku untuk menyatu dengannya

aku suka laut karena aku dapat menyusuri garis-garis pantai sendirian dan menatap angkasa yang maha luas, menyiratkan ketakterbatasan hidup yang ternyata terbatas

aku suka laut karena ia misterius, kedalamannya merupakan kengkuhan sekaligus fatamorgana

aku suka laut karena disini aku dapat melihat matahari berganti senja dan berubah gelap

aku suka laut karena ia tak kenal lelah mencoba mengikis karang

aku suka laut karena dahulu ayah sering mengajakku menjengukmu sambil menuntunku sengan segenggam coklat ditangan

dan aku suka laut karena senyum ayah tertinggal disitu


(Pantai baron-jogja, 200909)

Gemintang

aku melihat gemintang bertaburan diatas tundra kemarau

aku melihat gemintang bersinar terang ditengah pekatnya malam

aku melihat gemintang kokoh walau angin malam berhembus semarak

aku melihat gemintang ditengah sunyi malam dua hari sebelum lebaran

aku melihat gemintang dan aku jatuh cinta padanya

(jogja, 2 hari sebelum lebaran 2009)

Senin, 17 Agustus 2009

timpang dan hampir jatuh

tertatih-tatih
jalanan kian menanjak, terjal, dan membikin putus asa
padahal ini baru awal
awal dari sesuatu yang pada akhirnya akan tereduksi menjadi memori

jagad ternyata begitu luas
samudera begitu dalam
dan hidup begitu membingungkan, penuh jebakan, penuh tipu muslihat
tetapi hidup juga surga, sebuah ladang tak bertepi yang menawarkan banyak solusi

jelaga berubah tembaga
putih berubah hitam
tetapi semua itu masih absurd bagiku
karena aku masih tetap si abu-abu

aku ingin lepas dari diri
ingin lepas dari waktu
ingin lepas dari kungkungan wilayah
dan mengambang, menyusuri tanpa ingin pernah berpikir

baru kejejaki persimpangan jalan itu
tapi belum apa-apa aku sudah sangat lelah
harus apa? harus bagaimana memilin asa perlahan-lahan agar tidak hancur?
harus apa? harus bagaimana merajut harap agar jiwa tetap hidup dan diri sampai pada akhir, sebuah oase ketidakpastian?

Rabu, 03 Juni 2009

Kritik Seni Estetika


Jakarta Biennale Community College Karya Khairuddin Hori: Partisipasi Publik dalam Aspek Ekstra Estetik

Oleh: Fitri Kumalasari, 0706292302



Saturday, January 31, 2009

You are invited!




Dear Friends,

I have been invited to share a work for Jakarta Biennale 2009 which is scheduled to take place from 06 - 27 February 2009 at the Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia (amongst its other venues, check out www.jakartabiennale.com).

With funds allocated as my artists' per diem, I have decided to set up a 'college' of sorts, one that I am calling 'Jakarta Biennale Community College'. It is an open school by all, for all.

I would like to call upon any of you who might be interested in sharing some knowledge with the public to come forward and contribute to the college's curriculum.

Participation and facilitation of workshop/lecture/lesson/tutorial/seminar e.t.c is not limited to any specific audiences or subjects. You might want to share some secret knowledge of astronomy, maybe a traditional grandmother's recipe, a conspiracy theory, perhaps a secret martial arts system or even, a technological breakthrough. Each session provides a modest allowance of 100,000 Indonesian Rupiah for its facilitator/s.

Should you be interested in spreading some love at the Jakarta Biennale Community College, please communicate your intentions to Miss Diah Sekarwidhi through an email to JktBiennaleCommunityCollege@gmail.com.

Your participation is our treasure. :)



cheers,
Khai



Dan saya memenuhi undangannya pada Jumat, 20 Februari 2009 untuk melihat secara langsung karya seniman asal Singapura ini disamping tentu untuk melihat-lihat karya seni lain yang ditampilkan pada Jakarta Biennale XIII 2009 di Galeri Nasional, Jakarta.

Karya Khairuddin Hori yang bertema "Jakarta Biennale Community College" merupakan sebuah ruang di dalam Galeri Nasional yang terletak disudut kanan, berpencahayaan temaram dan difungsikan sebagai sebuah ruang kelas lengkap dengan beberapa buah meja-tulis, sebuah whiteboard, serta tak lupa spidol dan penghapus sbagai alat pendukung pengajaran. Begitu sederhana dan biasa, tanpa ornamen hias yang menghadirkan kesan mencolok. Benar-benar seperti ruang kelas yang sering kita jumpai di sekolah-sekolah ataupun di perguruan tinggi. Tetapi bukan sekedar kesan biasa dan sangat keseharian yang membuat saya tertarik dengan karya Hori ini, letak kekuatan seninya adalah pada aspek ekstra estetik yaitu partisipasi publik.

Ketertarikan saya terhadap karya Khairuddin Hori bermula ketika pada serangkaian acara Jakarta Biennale XIII 2009, Hori menjadi pembicara pada Artis Talk II di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia bersama dengan Eko Nugroho, Senin 9 Februari 2009. Dalam presentasinya, Hori memutar sejumlah video mengenai karya-karyanya yang berupa performance art, seni teater, dan lain sebagainya. Dan yang menarik hampir sebagian karyanya melibatkan partisipasi publik-entah meminta bantuan seorang sales promotion girl untuk ikut dalam pertunjukkan teaternya maupun mempersilahkan orang lain mengisi karyanya dengan beragam hal seperti puisi, surat cinta, dan lain-lain dalam Wunderspaze-Hori di Singapura.


Partisipasi Publik
Ketika sebuah karya hadir dihadapan publik, karya tersebut tidak lagi sekedar milik si pencipta tetapi juga menjadi milik masyarakat dengan pemaknaannya yang beragam. Seni hadir tidak lagi dengan satu interpretasi tunggal si pencipta, tetapi bagai sebuah ruang kosong yang bebas untuk dieksplorasi siapapun. Dan saya menangkap itu semua secara unik dari Jakarta Biennale Community College karya Khairuddin Hori.

Sebagai sebuah karya seni yang sekedar ditampilkan di ruang publik, Jakarta Biennale Community College rupanya bukanlah sebuah hasil akhir dari karya Hori. Jakarta Biennale Community College lebih kepada karya pasif yang belum selesai dan untuk mengaktifkan atau menyempurnakan karya tersebut, Hori mengundang partisipasi publik untuk mengisi ruang kelas tersebut dengan diskusi, pengajaran, kelas hobi dan ketrampilan, sampai bedah buku dengan tema bebas mulai dari ekonomi, politik, budaya, sosial, ataupun keseharian. Siapapun boleh berpastisipasi didalamnya mulai dari mahasiswa, karyawan kantor, ibu rumah tangga, sampai anak-anak.

Partisipasi publik yang dihadirkan Hori untuk ikut berkarya merupakan hal yang unik dan cerdas dalam penginterpretasian suatu karya. Hori seolah menciptakan sebuah ruang, framework, bingkai yang belum terisi dan akan terisi lewat partisipasi publik dengan beragam pemaknaannya. Ruang kelas yang diisi dengan kelas diskusi politik tentu menghadirkan gambaran serta pemaknaan yang berbeda dengan ruang kelas yang diisi dengan kelas ketrampilan anak-anak. Keberagaman yang dimaknai secara berbeda oleh beragam partisipan membuat karyanya semakin hidup dan kaya. Hori membangun sebuah jembatan yang menghubungkan seniman dengan masyarakat luas lewat partisipasi publik dalam mengisi suatu karya secara bebas. Tidak hanya itu, karya yang melibatkan partisipasi publik sebagai bagian dari karya itu sendiri merupakan sesuatu yang menarik dan membangkitkan optimisme masyarakat luas bahwa siapa pun bisa berkesenian menurut cara mereka sendiri.

Hori dan karyanya mencoba membumikan seni yang seringkali dianggap elitis, sulit dipahami, dan mahal oleh banyak orang dengan mengembalikan makna seni bagi kehidupan kita. Jika bagi sekumpulan ibu-ibu seni dipahami sebatas bagaimana membuat masakan yang enak, maka Hori lewat Jakarta Biennale Community College memberikan tempat untuk itu. Jika bagi sekelompok mahasiswa seni berkaitan dengan politik, maka Hori pun memberikan tempat untuk itu. Bahwa hal-hal biasa dan sangat keseharian yang terlihatr dari Jakarta Biennale Community College memberikan "rasa" tersendiri bagi pemaknaan suatu karya.


Totalitas dalam Proses Menjadi
Melihat dan menikmati Jakarta Biennale Community College mengingatkan saya kepada Hegel dan dialektikanya yang memunculkan totalitariasme dalam proses menjadi. Hori yang menciptakan ruang kelas adalah sebuah tesis. Ruang kelas yang ada bukanlah hasil akhir dari karya Hori. Kemudian ia mengundang partisipasi publik untuk mengisi ruang kelas tersebut dengan beragam kegiatan sesuai dengan keinginan partisipan adalah tesis tambahan-saya menolak menyebutnya antitesis, karena tidak perlu ada yang dibantah dari tesis pertama-yang memberikan pemaknaan baru bagi karya tersebut. Dan dari sini muncul sintesis bahwa Jakarta Biennale Community College adalah keseluruhan, totalitas dari penggabungan ruang kelas ciptaan Hori dengan partisipasi publik dalam mengisi ruang kelas tersebut. Totalitas yang hadir bukan suatu akhir dari pemaknaan karya Hori karena dengan tema kelas yang berubah sesuai dengan siapa partisipan yang mengisi tentu terus menjadi proses yang tak selesai begitu saja hanya dengan satu makna. Pemaknaan yang hadir tidak selalu sama karena tesis tambahan yang ada berubah dan sehingga totalitas yang hadir terus dalam proses menjadi.

Pada akhirnya, Jakarta Biennale Community College bisa dijadikan sebuah sanpel untuk melihat praktek artistik yang berangkat dari kesadaran tentang pentingnya relasi sosial. Ruang kelas itu akan memperlihatkan kehadirannya sebagai sebuah karya seni, justru ketika ia diokupasi menjadi ruang interaksi dan partisipasi yang nyata.1

Dan saya menyetujuinya.



Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam ruang kelas Jakarta Biennale Community College. (sumber:www.jakartabiennale09.blogspot.com)
Hidup adalah ruang tak berbatas bagi pencarian jati diri manusia
Hidup adalah sebuah jalan panjang, sepi, jauh dari hiruk-pikuk zaman
Dan kita berjalan sendiri di jalan yang panjang itu

Zaman hadir sebagai sebuah refleksi dari sebagian perjalanan hidup
Kegemerlapan, keceriaan, kemegahan, kebesaran tiap zaman selalu bercerita tentang sejarah manusia, sebuah perjalanan yang belum tuntas

Zaman kita, banyak orang berbicara tentang kapitalisme global, maraknya teknologi, terorisme, kekuasaan, tumbangnya sosialisme, krisis ekonomi, dan berjuta tema lain bergema disekitar kita
Riuh rendah kesenangan hadir pada hidup kita yang sepi, namun justru mereduksi diri
Perjalanan terhenti dan arahpun bercabang banyak, padahal tadinya hanya ada satu arah: ke depan

Tetapi ada orang-orang yang terus berjalan ke depan, sendirian
Dan mereka memiliki cita-cita, mimpi, dan harapan yang menunggu di depan sana
Ada keyakinan bahwa hidup adalah perjalanan panjang demi suatu tujuan, yaitu diri sendiri
Dan hidup tak lagi tereduksi kesenangan diri karena bahagia telah tergenggam walau tak kunjung pasti

Apa yang Kuketahui Tentang Hidup?

Apa yang kuketahui tentang hidup? Tentang Tuhan? Tentang kebahagiaan? Tentang kepedihan? Tentang semua rasa?

Aku hanya tahu sedikit tentang hidup, tentang Tuhan, tentang merasa bahagia, tentang merasa pedih, dan tentang merasakan semua hal.

Hidup mengajarkan kepadaku tentang ketidakpastian. Bahwa tidak ada hal yang pasti di dunia ini kecuali kematian. Dan ditengah ketidakpastian yang mendaras itu, kita selalu ingin sesuatu menjadi pasti dan jelas bagi diri sendiri. Di tengah gurun ketidakpastian yang maha luas, banyak cita-cita dan harapan yang dipancangkan dengan berjuta pasak keyakinan.

Hidupku adalah oase ditengah padang pasir. Ia fatamorgana. Ia menjelma menggoreskan rasa pada hidupku yang tandus. Aku merasa bahagia, pedih, kecewa, marah, putus asa, dan segala macam rasa yang tercipta lewat sebuah totalitas pespektif: SEMPURNA.

Ditengah oase itu aku tahu Tuhan bersamaku. Selalu. Tetapi aku seringkali berpaling dan mencari Tuhan baru. Dan aku merindukan Tuhan lebih dari apa yang kusadari untuk lebih membuat sejuk oaseku.

Hidupku adalah sebuah kisah mengenai cita-cita dan harapan. Hidupku adalah sebuah perjuangan melawan diriku yang lain. Hidupku adalah karang yang selalu diterjang ombak. Tetapi aku tidak sekuat karang. Aku hanya mencoba menjadi kuat demi sesuatu hal yang tak kutahu pasti apa itu dimasa depan.

Hidupku adalah sebuah kegiatan berpikir tanpa akhir yang mengantarkan kepada berbagai pilihan yang harus kuambil untuk terus bertahan dan bersiap menerima konsekuensi di kemudian waktu.

Hidupku tidak selalu terpelitakan cahaya, melainkan seringkali gelap tak terhingga. Hidupku adalah sebuah persimpangan antara cahaya dan kegelapan. Hidupku adalah senja yang temaram diantara gelap dan terang. Hidupku adalah sebuah zona abu-abu.

Tetapi hidupku sempurna. Sangat sempurna.karena oaseku terisikan oleh segala saripati hidup dan pengalaman diri sendiri dan orang lain. Karena hidup yang kujalani adalah kenangan tentang rasa; rasa bahagia, rasa sedih, rasa marah, rasa kecewa, dan berjuta rasa lainnya. Karena disekitarku selalu ada orang-orang yang menyayangiku apa adanya, orang-orang yang ikut memberikan rasa pada hidupku yang tak tahu sampai kapan berakhir. Orang-orang paling hebat yang pernah kukenal. Karena hidupku adalahsebuah perjalanan spiritualku untuk memahami Tuhan yang kukenal selama hidup. Karena aku menikmati setiap detik kehidupanku. Dan itu semua adalah alasan yang membuat hidupku sempurna. Sangat sempurna,,,

Sabtu, 23 Mei 2009

B A H A G I A

Ada secercah bahagia diraut banyak orang
Tersimpan berjuta harap pada hidup yang kian mendesak tak tentu arah
Tetapi seraut senyum itu masih ada, tersimpan apik, tak rusak, tak lapuk dimakan pengalaman

Manusia adalah keunikan yang beraneka dan itu terlihat dari pilihan-pilihannya
Berbeda dan beragam tak dapat di tolak apalagi disangkal
Ia hadir begitu saja dan kita tidak pernah meminta sebelumnya

Selembar kartu undangan pernikahan menyiratkan sejumput bahagia yang terkonsepkan dan berhias harapan-harapan indah
Senang melihat wujud bahagia itu pada wajah-wajah yang tak kalah dari hidup yang terus menghimpit, atau mungkin tak terasa?
Tak apa, asal sejumput bahagia itu tersemai bagi mereka yang melihat dan merasakannya

Hidup tak selalu harus berkisar dengan kisah tragik ala Kierkegaard dan para pengikutnya
Hidup bagi sebagian orang adalah permasalahan mendasar dan sederhana
Hidup adalah sebuah tur yang harus dijalani begitu saja tanpa perlu bertanya kenapa, apa, kapan, atau bagaimana
Hidup sederhana dan tetap bahagia
Untuk mencapai pemahaman diri tak perlu sampai belajar filsafat secara serius, toh hidup perlahan mengajarkan itu
Untuk yang berbahagia, tersenyum, dan tertawa, nikmatilah...
Sebarkan benih itu pada sekitar sehingga padang tak lagi gersang dan jiwa tak lagi kering

Selamat untuk kebahagiaan yang terus tersemai

A(a)-K(k)-U(u)

Aku kehilangan aku di dalam AKU
Aku lemah, Aku hina, Aku bangsat
Aku anjing, Aku monyet, Aku,...
Aku tidak kenal aku lagi

Aku bukan AKU
Aku rendah!
Ya, memang Aku rendah sekali
aku AKU telah hilang entah kemana
Aku aku itu memang tak pernah ada sebelumnya
Tetapi AKU merasa sakit karena aku
Seolah-olah aku hilang atau dicuri entah bagaimana
Sakit sekali. SAKIT SEKALI!!!
Aku ingin aku kembali pada AKU agar AKU utuh kembali

Tapi bagaimana caranya?
Aku tidak tahu siapa Aku
Aku tidak mengerti tentang Aku
aku pasti bisa memahami Aku
Pasti bisa, karena aku adalah inti dari kesempurnaan AKU

Tapi aku telah hilang hingga Aku merasakan ada yang sungguh sakit amat dalam
aku, kemana aku?
Aku hampir sekarat
Dia, mungkin Dia tahu dimana aku?

Kamis, 07 Mei 2009

Teman I

Jembatan itu belum tercipta dan kita saling menyalahkan
Aku tentu tak ingin menyalahkan diriku sendiri dan aku merasa benar
Dan kukira kau pun begitu

Terlalu banyak emosi negatif
Aku hanya ingin mendengar apa yang ingin kudengar
Dan kukira kau pun begitu, teman

Tapi aku salah, aku sadari itu
Banyak syak wasangka mengalir mempengaruhi diriku
Dan aku merasa aku benar untuk beberapa alasan
Tetapi caraku salah
Aku tak segera menyelesaikannya, hanya membiarkannya
Dan aku semakin sakit hati

Tetapi hari ini aku mulai menguak kembali struktur kesadaranku
dan kujabarkan kini bahwa aku terlalu banyak berpikir tanpa memastikan
padamu apa yang sebenarnya kita alami
karena jembatan diantara kita tak tersusun dengan baik, karena telinga ini ditutup dan kita tidak saling mendengar satu sama lain

Atas semua hal yang terjadi, aku minta maaf, teman

Rabu, 22 April 2009

Ada dan Pengada

Aku ada di tiitik ini .

Tapi pengadaku menyebar sejauh relasi yang kulakukan dengan dunia sekitar

Aku bisa saja seorang fitri, tapi fitri itu bisa juga menjadi seorang anak dari orang tuanya, bisa juga menjadi seorang mahasiswi filsafat 2007, bisa juga menjadi seorang kakak dari Imbang, bisa juga menjadi salah seorang member filsafat dan psikologi transformatif di group yahoo!,,,
Fitri bisa menjadi siapa saja sejauh orang lain mengenalnya

Tetapi pertanyaannya adalah apakah fitri itu tahu siapa dirinya? Dirinya dalam arti "ada" tanpa "pengada"?

Jika fitri dipahami "ada" tanpa "pengada", apakah dia bisa hilang makna? Hilang identitas? Hilang ke-diri-annya?

Menjadi fitri di titik ini tidak jelas betul dirinya karena ia tidak menjadi "pengada" sekaligus. Dan saya bertanya pada diri saya sendiri,"Hendak seperti apakah saya tanpa "pengada" saya?"

Tapi kembali lagi pada "ada" fitri
Siapa dia dan hendak diartikan apa dia?
Terserah sajalah...

Rabu, 01 April 2009

Aku dalam sepotong Makrocosmos kehidupan

Aku adalah manusia. Siapa yang bisa menyangkalnya? Walaupun sejuta manusia lainnya bilang aku adalah anjing, aku adalah monyet, itu tidak akan merubah sustansiku sebagai seorang manusia. Terlebih manusia yang hidup.

Tetapi apa itu manusia? Segumpal daging dan darah, begitu? Tidak ada istimewanya? Manusia lain mencoba menafsirkan apa itu menjadi manusia. Aristoteles mengatakan manusia adalah binatang yang berakal budi dan seluruh manusia mengamini pernyataan tersebut. Tetapi apa yang istimewa dari menjadi manusia? Terlalu banyak hasrat, kataku. Semua proposisi yang mengagung-agungkan manusia hanyalah pembenaran bagi eksistensi manusia itu sendiri, tetapi kebenaran secara objektif itu sendiri tak melekat pada manusia yang ternyata hanyalah setitik tanda, sepotong bagian dari alam semesta. Kita tidak lebih mulia ataupun lebih hebat dari entitas lainnya.

Kita. Jika menyebut kata ganti orang tersebut apa yang terlintas dipikiranku adalah kata ganti tak sempurna. Kita telah kehilangan objek dan hampir kehilangan makna juga di era posmodern ini. Kita tidak lagi mengacu pada saya dan kamu bersama-sama dalam sesuatu. Kita kini hanyalah sebuah kata ganti metafisik. Kita mungkin masih dapat mewakili saya, tetapi belum tentu dengan kamu, karena saya tidak dapat memastikan kamu apakah kamu benar-benar sepaham dengan saya baik pikiran maupun tindakan. Kita tak lagi disatukan, kita adalah individu yang berlainan sekarang.

Salah satu keunikan manusia adalah ia ingin bahagia. Tetapi apa itu bahagia? Kenapa kebahagiaan menjadi penting bagi manusia?

Semua manusia ingin bahagia. Tetapi apa ukuran kebahagiaan itu? Buatku, bahagia itu tidak terbatas pada kuantitas memori ataupun kesenangan-kesenangan semu yang bisa menguap begitu saja. Kebahagiaan lebih dari pada semua itu. Kebahagiaan adalah sejauh manusia memberi makna pada hidupnya dan ia mengapresiasikannya, ia menikmatinya. Kebahagiaan adalah hal metafisik yang paling rasional. Ia tak berwujud tetapi ia ada karena manusia merasakannya. Tetapi apa itu merasakan kebahagiaan? Adakah yang bisa menjabarkan lewat bahasa? Aku keterbatasan bahasa! Bahasa mereduksi perasaan serta pikiran kita untuk mengemukakan sesuatu kepada manusia lain.

Dan aku melihat sekelilingku orang-orang tersenyum karena mendapat telepon dari orang terkasih, aku melihat seraut kedamaian di wajah seorang tua yang mendapat duduk di kereta ekonomi saat tidak begitu penuh penumpang, aku melihat tawa seorang anak bermain sendiri menjemput imajinasi didalam diri dan mulai meng-konstruksi jiwa, aku melihat canda diwajah mama dan adikku saat santai bersama, aku melihat senyum malu-malu dari seorang cacat yang tak lagi memiliki kedua kaki di stasiun Tebet sambil ia terkadang menjajakan koran dan melihatnya membuatku rindu dengan ayahku, aku melihat senyum diwajah temanku saat kami bercanda di payung kantin kampus karena lelucon lucu, aku melihat secercah wajah ceria saat seorang gadis mendapatkan baju yang telah lama diinginkannya, aku melihat senyuman sekelompok gadis remaja yang asyik membahas trend fashion di majalah, aku melihat nenek tua disampingku saat perjalan menuju kampus bertanya denganku ramah aku hendak turun dimana tetapi wajahnya kuyu dan pakaiannya lusuh, aku melihat seorang penjaja koran cilik di kampusku dan tersenyum menyapaku.

Tetapi apakah itu semua wujud dari perasaan bahagia? Senang? Manusia adalah makhluk yang begitu unik dan beragam. Mereka tersenyum dan tertawa merupakan partikel kecil dari apa yang mereka rasakan. Dan menurutku itu semua sudah lebih dari cukup ketimbang mengejar sesuatu yang lebih abstrak dan naif seperti kekuasaan, harta,jabatan, dan lain sebagainya. Tetapi manusia tentu tidak cukup puas hanya dengan hal-hal kecil. Aku, kamu, dia, dan mereka tentu punya keinginan, hasrat-hasrat kecil semacam itu. Tetapi apakah segala keinginan atau tujuan-tujuan dalam hidup adalah kebahagiaan yang sungguh-sungguh dicari manusia? Mengapa tidak dinikmati saja keseluruhan proses yang mengantarkan saya dan kamu mencapai tujuan? Mengapa kita tak berhenti sejenak dan melihat sekeliling bahwa ada banyak hal yang jauh lebih indah daripada sekedar obsesi? Bahwa terkadang tersenyum walau karena hal remeh asal itu tulus justru lebih menyejukkan jiwa dan membawa suasana riang? Bahwa seringkali kita tak sadar bahwa kita adalah bagian dari makrokosmos, bagian dari dunia yang fana ini?

Senin, 16 Maret 2009

Wiji Tukul: Seni dan Politik, Tidak Hanya Pelarangan Seni tetapi juga Penculikan Paksa

Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversive dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Siapa tak kenal puisi diatas? Tak pernah mendengar? Atau tak peduli? Wajar saja jika puisi diatas tidak terlalu menggairahkan bagi penikmat puisi jenis biasa-biasa saja, penikmat puisi tipe yang tidak begitu menyukai puisi digunakan untuk kepentingan menyalurkan aspirasi si penyair yang mewakili rakyat banyak kepada pemerintah yang memegang status quo dan risih dengan kritikan karena menganggap suatu puisi yang agung adalah puisi yang lahir dari ilham seolah-olah Tuhan menurunkan wahyu atau apalah kepada sang penyair untuk membuat karya. Solah-olah puisi yang baik itu seharusnya yang tidak menimbulkan konflik dan proses dalam membuat puisi diawali dengan consensus atau kesepahaman dengan pendapat John Locke mengenai konsep “tabula rasa”-nya. Bahwa penegasan seni termasuk puisi adalah kertas kosong yang belum ternoda tinta sama sekali. Atau puisi diatas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah teori kesusteraan seperti pendapat Tylor Coloridge(1772-1834) yang berpendapat bahwa puisi adalah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung? Tidak peduli dan tidak perlu dibahas lebih lanjut apakah puisi diatas sesuai dengan pendapat-pendapat kuno tentang bagaimana puisi yang baik itu seharusnya, karena yang lebih penting disini adalah bagaimana estetika itu menghadirkan pengalaman bagi tiap subjek yang berbeda. Walau bagaimanapun itu tetaplah puisi!

Karya seni termasuk puisi adalah bentuk pengejawantahan ide gagasan seseorang dalam menangkap realitas sekelilingnya kemudian dikontemplasikan dengan imajinasi yang kemudian dilahirkan kembali menjadi sebuah karya yang berbeda jauh dengan proses pembuatan karya yang diawali dengan menangkap realitas tadi tetapi sesungguhnya maknanya tidak beda jauh dengan realitas yang ditangkap, hanya saja diolah dengan ketertarikan dan perspektif yang berbeda oleh seseorang yang membuat karya tersebut. Saya tidak setuju dengan anggapan bahwa karya seni dan proses yang mengiringinya terlepas dari realitas fisik dan dianggap bahwa ide gagasan itu muncul tiba-tiba serta mengabaikan kemampuan pancaindera menangkap realitas disekeliling seniman. Tidak ada manusia yang hidup dalam kekosongan dimana ia tidak berkaitan dengan dunia sekitarnya. Ada proses historis yang mengiringi kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk historis. Sehingga kehidupan manusia seperti cara manusia memikirkan serta mengambil keputusan tidak bisa lepas dari pengalaman yang mengiringinya. Artinya manusia lewat pengalamannya adalah makhluk yang tidak kosong, ide gagasannya juga dipengaruhi oleh pengalamannya. Seniman juga tidak terlepas dari historisitas yang menyertainya sehingga mutlak ide gagasan yang hendak disampaikan sang seniman tidak datanga begitu saja dari Tuhan dan lepas dari keterikatan historis maupun pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.

Bertolak dari apa yang diyakini oleh Plato mengenai konsep “dunia ide”-nya, bahwa realitas yang sesungguhnya berada pada tataran ide, berada diluar diri manusia. Bahwa yang ideal adalah yang ada di dunia ide dan hanya ada satu yang paling baik, tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bahwa seniman seolah-olah menangkap yang ideal itu lewat tangan Tuhan dan melepaskan hubungan dengan realitas dunia. Padahal Plato sendiri menganggap bahwa apa yang ada di dunia fisik adalah tiruan dari dunia ide-mimesis. Plato juga tidak serta merta merendahkan kemapuan indrawi dalam membentuk suatu pengetahuan baru. Setidaknya Plato menganggap bahwa pengetahuan yang didapat dari realitas fisik adalah doxa-perspektif saja. Bahkan lebih jauh Plato memandang seniman sebagai peniru dari tiruan.

Kembali kepada permasalaha puisi diatas. Puisi tersebut diciptakan oleh Wiji Tukul, seorang penyair sekaligus aktivis buruh. Wiji Tukul memang terkenal dengan karya-karyanya yang revolusioner, menyuarakan aspirasi rakyat kecil, mengritik pemerintah dengan kata-kata yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Puisinya adalah jenis puisi perjuangan. Hal tersebut bisa dipahami karena latar belakang Tukul yang hidup ditengah-tengah penderitaan rakyat banyak. Ia hidup dilingkungan yang dihuni para buruh pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan lain sebagainya. Sehingga dalam proses mencipta puisi Tukul begitu dipengaruhi oleh suasana kehidupan rakyat kecil disekitar rumahnya. Puisi-puisi yang dibuat oleh Tukul berkisah tentang kehidupan rakyat kecil, pemerintahan otoriter yang tidak mempedulikan kehidupan rakyatnya, penindasan oleh kaum kapitalis, dan berbagai bentuk realitas pedih tentang nasib rakyat kecil. Dalam salah satu bait puisinya, Tukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto.

“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemanyam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!”

Selain bergelut dengan puisi-puisi yang berbau pergolakan rakyat kecil, Tukul juga bertekad menyadarkan orang-orang yang ada disekitarnya dengan penindasan oleh para penguasa. Hal ini dimulai Tukul dari lingkungan tempat tinggalnya. Ia mendirikan sanggar Suka Banjir. Sanggar ini menampung anak-anak sekitar rumahnya dan berkegiatan belajar menggambar, mengarang, membaca, dan berteater di sana. Tukul mengajarkan apa yang tidak diajarkan di sekolah yaitu mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman mereka sehari-hari. Tukul menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak kampong ini agar tak gentar menyatakan kebenaran(Wiji Tukul dan Orang Hilang oleh Linda Cristanty, Mereka yang Hilang dan Mereka yang Dihilangkan diterbitkan oleh IKOHI,2004). Bagi Tukul seni adalah terlibat langsung, menyatu dengan dinamika masyarakat dan bukan imajinasi semata.

Puisi-puisi Tukul memang berseberangan dengan pemerintah Orde Baru yang otoriter. Puisi-puisinya dibuat untuk menyadarkan kesadaran rakyat kecil untk melawan tirani. Hal ini tergambar jelas lewat salah satu puisinya yang berjudul Bunga dan Tembok,

“Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dengan keyakinan kami
Dimanapun tirani harus tumbang!

Hal yang terjadi selanjutnya bukan hanya sekedar pelarangan dalam berkesenian, pelarangan dalam penciptaan karya-dalam hal ini puisi-tetapi lebih dari itu, puisi-puisi Tukul yang dianggap pemerintahan orde baru subversive dan mengganggu tataran kehidupan bermasyarakat karena dapat memicu perlawanan rakyat, mengakibatkan dirinya menjadi salah satu korban penculikan di tahun 1997-1998 yang dilakukan oleh Negara. Hal ini dilakukan karena konsekuensinya atas aktivitas politiknya yang menggerakkan masa buruh dibawah Partai Rakyat Demokratik(PRD) dan jalan berkesenian yang ditempuhnya secara frontal mengkritik pemerintah. Hingga detik ini tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Wiji Tukul. Ia masih dinyatakan hilang walaupun berbagai pihak telah berusaha mencari tahu keberadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal.

Saya memandang dan menganggap Wiji Tukul tidak hanya sebagai seorang aktivis yang vocal menyuarakan suara penderitaan rakyat kecil tetapi juga sebagai seorang penyair, seniman yang menempatkan seni tidak sebagai sesuatu yang dianggap elit dan mahal. Tukul lewat karya-karyanya telah membumikan seni itu sendiri karena menempatkan seni sebagai sesuatu yang hadir disekeliling kehidupan kita. Bahwa seni bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari aspek lainnya seperti politik, ekonomi, dan agama melainkan mengawinkan kembali seni dengan kehidupan sehari-hari manusia. Seni bukan sekedar bagaimana menciptakan keindahan lewat hal-hal yang indah saja tetapi Tukul merubah konsepsi tersebut dengan menampilkan keindahan sebagai sebuah ironi tersendiri dari berbagai kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan dalam puisi-puisinya. Dalam salah satu teori estetika Aristoteles, karya-karya Tukul dapat dikategorikan sebagai tragedy sekaligus komedi karena penyampaiannya yang menarik dan memikat. Bahasa yang digunakan Tukul dalam puisinya begitu jujur dan lugas namun dirangkai menarik sehingga ide gagasan yang diutarakannya membentuk bait-bait yang hidup dan pas membentuk komedi tersendiri tentang permasalahan bangsa yang dilihatnya.

Pendapat ini diperkuat oleh Herbert Marcuse, salah seorang filsuf yang menyatakan bahwa estetika adalah menjadi sebuah jalan keluar untuk mengatasi krisis masyarakat satu dimensi. Apa jadinya jiwa sebuah puisi tidak bisa menangkap dan kemudian menyampaikan pesan-pesan tersebut walaupun disatu sisi harus kita akui sebuah puisi yang terlahir lewat cara dan peristiwa social cenderung naïf lewat kesan individual penyairnya. Namun secara eksplisit kesan-kesan tersebut menjadi tampak lebih nyata, karena dunia bentuk dalam pengertian dunia ruang dan waktu berpadu dengan dunia ide atau gagasan yang dimiliki oleh masing-masing penyair menjadi titik kunci keberhasilan sebuah puisi tentang penyampaian estetik yang dimaksud tanpa harus mencurigai adanya kesan-kesan individual.
Sebuah puisi yang dikatakan berhasil jika apa yang bisa disampaikan dalam menangkap dunia ide disampaikan pula sebagai suguhan kreatif dengan bentuk-bentuk yang lebih menarik. Sehingga sebuah puisi tidak saja bicara tentang peristiwa bahasa semata melainkan juga banyak sekali yang bersifat spirit dan menjadi roh bagi puisi termasuk aspek-aspek psikologis penyairnya.(www.tabloid-info.sumenep.go.id)



tulisan ini dibuat untuk mata kuliah manusia dan kesenian indonesia, program studi ilmu filsafat, FIB UI