Rabu, 28 April 2010
Membaca Malam
Pada malam aku membaca suatu risalah kematian
Pekatnya yang tergradasi oleh langit kelam
terterangi oleh bulan yang memancar penuh dengan lapisan halo disekelilingnya
sewarna pelangi
Kisahnya ditulis dengan tinta beraroma busuk dan bau tanah basah
Pada malam aku membaca kematian yang indah dan syahdu
Aku merasa sendu dan terharu ditengah malam berjalan sendiri menatap malam
Seolah malam menunjukkan hidup yang kujalani dan kematian yang harus kulewati
Kematian yang begitu indah dan membuat takjub
Yang memberi kesadaran bahwa ternyata kisahku tak banyak orang ingin tahu
Aku tak dikenali siapa-siapa
Aku tak dapat berkata-kata dan aku menemukan kematian yang erotis dalam senandung
berisiknya bising kendaraan
Banyak yang kusembunykan dari siang
Dalam cengkeraman siang dan matahari yang menyilaukan
Berbanyak dari kalian menuntutku pada batas yang tak kalian mengerti dan tak ingin
kalian ketahui
Pada siang hidup hanya sekedar perlombaan menuju finish yang tak kunjung jelas
Apa yang ingin didengar, dilihat, dirasa pada diriku hanyalah sebatas kelambu yang
koyak tak bersisa
Kalian hanya mengetahui apa yang ingin diketahui dariku
Tetapi aku adalah titah malam
tlah lama kubergumul didalamnya
karena pada malam aku dapat bercerita sesungguhnya tentang diriku
Aku membaca risalah tentang malam pada selembar langit bertabur bintang
Aku membaca tentang kematianku
Bahwa aku ingin mati dan merasa damai dalam malam
Minggu, 25 April 2010
Hijau
Pada salah satu penampilannya dalam acara Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) 2010 yang diselenggarakan Walhi, teater KOIN menyinggung permasalahan ilegal logging yang terjadi pada hutan-hutan di Indonesia. Teater KOIN menyuguhkan sepenggal kisah tentang perlawanan masyarakat adat setempat untuk mempertahankan hutan mereka yang hendak dibabat habis oleh para pemilik modal yang sebagian telah mencapai kesepakatan "Ya, babat habis" oleh birokrat setempat dan pusat. Yang menarik adalah ending teatrikal tersebut. Tentu bukan kisah happy ending yang ditampilkan bahwa pada akhirnya para penjahat ini sadar kita amat sangat membutuhkan hutan demi lestarinya udara dan mengurangi dampak pemanasan global, tetapi ditutup dengan pemberian beberapa bibit tanaman kepada para penonton dengan pesan sederhana,"Tolong dijaga baik-baik."
Ibarat menyerahkan sesuatu yang berharga dan berarti, itu yang saya tangkap. Ada sesuatu yang mendesak dalam fragmen akhir tersebut. Mendesak dan menyeruak untuk diperhatikan dan segera diselesaikan. Tetapi apa kiranya yang mendesak namun terendap dalam simbolisasi penyerahan bibit pohon tersebut?
Sekali waktu dalam suatu perjalanan melewati deretan gedung-gedung bertingkat dan megah di wilayah Jakarta, suatu yang mendesak itu muncul dalam gaung yang sayangnya seringkali kita abaikan: HIJAU.
Diantara gedung-gedung tersebut terselip hijau yang terekspresi dalam wujud pohon, rerumputan, bunga, maupun cat yang menjadi dasar warna tembok suatu bangunan. Rupanya kita sangat menyukai hijau dan selalu membutuhkannya walaupun sekedar pemanis penampilan. Hijau menjadi ornamen krusial yang menandai kehidupan, keberlangsungan. Simbol yang mendesak. Simbol yang hidup dan menyegarkan.
Dalam suatu percakapan, seorang teman pernah berkelakar,"Jika di dunia ini hanya tinggal satu pohon hijau, maka semua orang pasti akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan satu pohon hijau yang hidupnya sekarat." Sayang pernyataan itu ditutup dengan sebatang rokok dan kepulan asap. Tetapi saya setuju mengenai pernyataan yang dikemukakannya. Hijau menandakan kehidupan dan kesegaran yang selalu kita cari. Tetapi seringkali kita abai padanya. Perlukah menunggu hingga hijau ini pudar dan tak lagi gemerlap digantikan merah, hitam, abu-abu, coklat dan warna pekat lainnya? Semua pilihan ada pada kita, manusia.
Pada fragmen akhir penampilan teater KOIN, sang aktor memberikan bibit pohon dengan gestur dan tatapan sendu seolah itu adalah tindakannya yang terakhir untuk menyelamatkan pohon dan hijau-meminta seorang penonton menjaga baik-baik bibit pohon tersebut.
Dan hijau bukan sekedar warna. Hijau adalah keterdesakkan yang hidup karena ia menyegarkan dan menenangkan. Karena kita selalu butuh hijau, sadar ataupun tidak.
Selamat hari bumi. Selamatkan hijau..
Ibarat menyerahkan sesuatu yang berharga dan berarti, itu yang saya tangkap. Ada sesuatu yang mendesak dalam fragmen akhir tersebut. Mendesak dan menyeruak untuk diperhatikan dan segera diselesaikan. Tetapi apa kiranya yang mendesak namun terendap dalam simbolisasi penyerahan bibit pohon tersebut?
Sekali waktu dalam suatu perjalanan melewati deretan gedung-gedung bertingkat dan megah di wilayah Jakarta, suatu yang mendesak itu muncul dalam gaung yang sayangnya seringkali kita abaikan: HIJAU.
Diantara gedung-gedung tersebut terselip hijau yang terekspresi dalam wujud pohon, rerumputan, bunga, maupun cat yang menjadi dasar warna tembok suatu bangunan. Rupanya kita sangat menyukai hijau dan selalu membutuhkannya walaupun sekedar pemanis penampilan. Hijau menjadi ornamen krusial yang menandai kehidupan, keberlangsungan. Simbol yang mendesak. Simbol yang hidup dan menyegarkan.
Dalam suatu percakapan, seorang teman pernah berkelakar,"Jika di dunia ini hanya tinggal satu pohon hijau, maka semua orang pasti akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan satu pohon hijau yang hidupnya sekarat." Sayang pernyataan itu ditutup dengan sebatang rokok dan kepulan asap. Tetapi saya setuju mengenai pernyataan yang dikemukakannya. Hijau menandakan kehidupan dan kesegaran yang selalu kita cari. Tetapi seringkali kita abai padanya. Perlukah menunggu hingga hijau ini pudar dan tak lagi gemerlap digantikan merah, hitam, abu-abu, coklat dan warna pekat lainnya? Semua pilihan ada pada kita, manusia.
Pada fragmen akhir penampilan teater KOIN, sang aktor memberikan bibit pohon dengan gestur dan tatapan sendu seolah itu adalah tindakannya yang terakhir untuk menyelamatkan pohon dan hijau-meminta seorang penonton menjaga baik-baik bibit pohon tersebut.
Dan hijau bukan sekedar warna. Hijau adalah keterdesakkan yang hidup karena ia menyegarkan dan menenangkan. Karena kita selalu butuh hijau, sadar ataupun tidak.
Selamat hari bumi. Selamatkan hijau..
Sabtu, 10 April 2010
Kepada Tuan
Bukan saya yang Anda cari, Tuan
Pasti bukan saya
Tak mungkin saya
Tak akan pernah saya, Tuan
Jangan tanyakan kepada malam, Tuan
Karena ia hanya akan menunjukkan padamu apa itu gelap dan bias samar yg menipu seluruh indra
Jangan pula tanyakan kepada angkasa ataupun laut perihal isi hati Tuan
Karena keduanya hanya akan membikin pusing dan Tuan akan jatuh pada kedalaman yang tak berdasar
Jangan pandangi saya lagi, Tuan
Saya hanya seorang pandir yang bahkan tak mengenali diri sendiri
Saya seorang udik yang tak memiliki apa-apa untuk disombongkan maupun diberikan kepada Tuan yang baik hati
Tuan, jika Anda mencari mutiara yang berkilau sempurna, maka carilah ia di dalam samudera bukan di dalam jelaga
Lihatlah sekeliling Anda, Tuan
Ada banyak keindahan yang menunggu untuk ditangkup dan diteguk olehmu
Dan saya bukan diantaranya
Bukan saya yang Anda cari, Tuan
Pasti bukan saya
Jangan mengharap pada si pandir ini, Tuan
Karena saya tak punya apa-apa lagi yang dapat diberikan untuk kesenangan Tuan
Tolong Tuan, jangan minta hati saya
Karena hanya itulah yang saya punyai kini
Pasti bukan saya
Tak mungkin saya
Tak akan pernah saya, Tuan
Jangan tanyakan kepada malam, Tuan
Karena ia hanya akan menunjukkan padamu apa itu gelap dan bias samar yg menipu seluruh indra
Jangan pula tanyakan kepada angkasa ataupun laut perihal isi hati Tuan
Karena keduanya hanya akan membikin pusing dan Tuan akan jatuh pada kedalaman yang tak berdasar
Jangan pandangi saya lagi, Tuan
Saya hanya seorang pandir yang bahkan tak mengenali diri sendiri
Saya seorang udik yang tak memiliki apa-apa untuk disombongkan maupun diberikan kepada Tuan yang baik hati
Tuan, jika Anda mencari mutiara yang berkilau sempurna, maka carilah ia di dalam samudera bukan di dalam jelaga
Lihatlah sekeliling Anda, Tuan
Ada banyak keindahan yang menunggu untuk ditangkup dan diteguk olehmu
Dan saya bukan diantaranya
Bukan saya yang Anda cari, Tuan
Pasti bukan saya
Jangan mengharap pada si pandir ini, Tuan
Karena saya tak punya apa-apa lagi yang dapat diberikan untuk kesenangan Tuan
Tolong Tuan, jangan minta hati saya
Karena hanya itulah yang saya punyai kini
Langganan:
Postingan (Atom)