Senin, 16 Maret 2009

Wiji Tukul: Seni dan Politik, Tidak Hanya Pelarangan Seni tetapi juga Penculikan Paksa

Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversive dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Siapa tak kenal puisi diatas? Tak pernah mendengar? Atau tak peduli? Wajar saja jika puisi diatas tidak terlalu menggairahkan bagi penikmat puisi jenis biasa-biasa saja, penikmat puisi tipe yang tidak begitu menyukai puisi digunakan untuk kepentingan menyalurkan aspirasi si penyair yang mewakili rakyat banyak kepada pemerintah yang memegang status quo dan risih dengan kritikan karena menganggap suatu puisi yang agung adalah puisi yang lahir dari ilham seolah-olah Tuhan menurunkan wahyu atau apalah kepada sang penyair untuk membuat karya. Solah-olah puisi yang baik itu seharusnya yang tidak menimbulkan konflik dan proses dalam membuat puisi diawali dengan consensus atau kesepahaman dengan pendapat John Locke mengenai konsep “tabula rasa”-nya. Bahwa penegasan seni termasuk puisi adalah kertas kosong yang belum ternoda tinta sama sekali. Atau puisi diatas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah teori kesusteraan seperti pendapat Tylor Coloridge(1772-1834) yang berpendapat bahwa puisi adalah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung? Tidak peduli dan tidak perlu dibahas lebih lanjut apakah puisi diatas sesuai dengan pendapat-pendapat kuno tentang bagaimana puisi yang baik itu seharusnya, karena yang lebih penting disini adalah bagaimana estetika itu menghadirkan pengalaman bagi tiap subjek yang berbeda. Walau bagaimanapun itu tetaplah puisi!

Karya seni termasuk puisi adalah bentuk pengejawantahan ide gagasan seseorang dalam menangkap realitas sekelilingnya kemudian dikontemplasikan dengan imajinasi yang kemudian dilahirkan kembali menjadi sebuah karya yang berbeda jauh dengan proses pembuatan karya yang diawali dengan menangkap realitas tadi tetapi sesungguhnya maknanya tidak beda jauh dengan realitas yang ditangkap, hanya saja diolah dengan ketertarikan dan perspektif yang berbeda oleh seseorang yang membuat karya tersebut. Saya tidak setuju dengan anggapan bahwa karya seni dan proses yang mengiringinya terlepas dari realitas fisik dan dianggap bahwa ide gagasan itu muncul tiba-tiba serta mengabaikan kemampuan pancaindera menangkap realitas disekeliling seniman. Tidak ada manusia yang hidup dalam kekosongan dimana ia tidak berkaitan dengan dunia sekitarnya. Ada proses historis yang mengiringi kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk historis. Sehingga kehidupan manusia seperti cara manusia memikirkan serta mengambil keputusan tidak bisa lepas dari pengalaman yang mengiringinya. Artinya manusia lewat pengalamannya adalah makhluk yang tidak kosong, ide gagasannya juga dipengaruhi oleh pengalamannya. Seniman juga tidak terlepas dari historisitas yang menyertainya sehingga mutlak ide gagasan yang hendak disampaikan sang seniman tidak datanga begitu saja dari Tuhan dan lepas dari keterikatan historis maupun pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.

Bertolak dari apa yang diyakini oleh Plato mengenai konsep “dunia ide”-nya, bahwa realitas yang sesungguhnya berada pada tataran ide, berada diluar diri manusia. Bahwa yang ideal adalah yang ada di dunia ide dan hanya ada satu yang paling baik, tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bahwa seniman seolah-olah menangkap yang ideal itu lewat tangan Tuhan dan melepaskan hubungan dengan realitas dunia. Padahal Plato sendiri menganggap bahwa apa yang ada di dunia fisik adalah tiruan dari dunia ide-mimesis. Plato juga tidak serta merta merendahkan kemapuan indrawi dalam membentuk suatu pengetahuan baru. Setidaknya Plato menganggap bahwa pengetahuan yang didapat dari realitas fisik adalah doxa-perspektif saja. Bahkan lebih jauh Plato memandang seniman sebagai peniru dari tiruan.

Kembali kepada permasalaha puisi diatas. Puisi tersebut diciptakan oleh Wiji Tukul, seorang penyair sekaligus aktivis buruh. Wiji Tukul memang terkenal dengan karya-karyanya yang revolusioner, menyuarakan aspirasi rakyat kecil, mengritik pemerintah dengan kata-kata yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Puisinya adalah jenis puisi perjuangan. Hal tersebut bisa dipahami karena latar belakang Tukul yang hidup ditengah-tengah penderitaan rakyat banyak. Ia hidup dilingkungan yang dihuni para buruh pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan lain sebagainya. Sehingga dalam proses mencipta puisi Tukul begitu dipengaruhi oleh suasana kehidupan rakyat kecil disekitar rumahnya. Puisi-puisi yang dibuat oleh Tukul berkisah tentang kehidupan rakyat kecil, pemerintahan otoriter yang tidak mempedulikan kehidupan rakyatnya, penindasan oleh kaum kapitalis, dan berbagai bentuk realitas pedih tentang nasib rakyat kecil. Dalam salah satu bait puisinya, Tukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto.

“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemanyam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!”

Selain bergelut dengan puisi-puisi yang berbau pergolakan rakyat kecil, Tukul juga bertekad menyadarkan orang-orang yang ada disekitarnya dengan penindasan oleh para penguasa. Hal ini dimulai Tukul dari lingkungan tempat tinggalnya. Ia mendirikan sanggar Suka Banjir. Sanggar ini menampung anak-anak sekitar rumahnya dan berkegiatan belajar menggambar, mengarang, membaca, dan berteater di sana. Tukul mengajarkan apa yang tidak diajarkan di sekolah yaitu mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman mereka sehari-hari. Tukul menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak kampong ini agar tak gentar menyatakan kebenaran(Wiji Tukul dan Orang Hilang oleh Linda Cristanty, Mereka yang Hilang dan Mereka yang Dihilangkan diterbitkan oleh IKOHI,2004). Bagi Tukul seni adalah terlibat langsung, menyatu dengan dinamika masyarakat dan bukan imajinasi semata.

Puisi-puisi Tukul memang berseberangan dengan pemerintah Orde Baru yang otoriter. Puisi-puisinya dibuat untuk menyadarkan kesadaran rakyat kecil untk melawan tirani. Hal ini tergambar jelas lewat salah satu puisinya yang berjudul Bunga dan Tembok,

“Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dengan keyakinan kami
Dimanapun tirani harus tumbang!

Hal yang terjadi selanjutnya bukan hanya sekedar pelarangan dalam berkesenian, pelarangan dalam penciptaan karya-dalam hal ini puisi-tetapi lebih dari itu, puisi-puisi Tukul yang dianggap pemerintahan orde baru subversive dan mengganggu tataran kehidupan bermasyarakat karena dapat memicu perlawanan rakyat, mengakibatkan dirinya menjadi salah satu korban penculikan di tahun 1997-1998 yang dilakukan oleh Negara. Hal ini dilakukan karena konsekuensinya atas aktivitas politiknya yang menggerakkan masa buruh dibawah Partai Rakyat Demokratik(PRD) dan jalan berkesenian yang ditempuhnya secara frontal mengkritik pemerintah. Hingga detik ini tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Wiji Tukul. Ia masih dinyatakan hilang walaupun berbagai pihak telah berusaha mencari tahu keberadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal.

Saya memandang dan menganggap Wiji Tukul tidak hanya sebagai seorang aktivis yang vocal menyuarakan suara penderitaan rakyat kecil tetapi juga sebagai seorang penyair, seniman yang menempatkan seni tidak sebagai sesuatu yang dianggap elit dan mahal. Tukul lewat karya-karyanya telah membumikan seni itu sendiri karena menempatkan seni sebagai sesuatu yang hadir disekeliling kehidupan kita. Bahwa seni bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari aspek lainnya seperti politik, ekonomi, dan agama melainkan mengawinkan kembali seni dengan kehidupan sehari-hari manusia. Seni bukan sekedar bagaimana menciptakan keindahan lewat hal-hal yang indah saja tetapi Tukul merubah konsepsi tersebut dengan menampilkan keindahan sebagai sebuah ironi tersendiri dari berbagai kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan dalam puisi-puisinya. Dalam salah satu teori estetika Aristoteles, karya-karya Tukul dapat dikategorikan sebagai tragedy sekaligus komedi karena penyampaiannya yang menarik dan memikat. Bahasa yang digunakan Tukul dalam puisinya begitu jujur dan lugas namun dirangkai menarik sehingga ide gagasan yang diutarakannya membentuk bait-bait yang hidup dan pas membentuk komedi tersendiri tentang permasalahan bangsa yang dilihatnya.

Pendapat ini diperkuat oleh Herbert Marcuse, salah seorang filsuf yang menyatakan bahwa estetika adalah menjadi sebuah jalan keluar untuk mengatasi krisis masyarakat satu dimensi. Apa jadinya jiwa sebuah puisi tidak bisa menangkap dan kemudian menyampaikan pesan-pesan tersebut walaupun disatu sisi harus kita akui sebuah puisi yang terlahir lewat cara dan peristiwa social cenderung naïf lewat kesan individual penyairnya. Namun secara eksplisit kesan-kesan tersebut menjadi tampak lebih nyata, karena dunia bentuk dalam pengertian dunia ruang dan waktu berpadu dengan dunia ide atau gagasan yang dimiliki oleh masing-masing penyair menjadi titik kunci keberhasilan sebuah puisi tentang penyampaian estetik yang dimaksud tanpa harus mencurigai adanya kesan-kesan individual.
Sebuah puisi yang dikatakan berhasil jika apa yang bisa disampaikan dalam menangkap dunia ide disampaikan pula sebagai suguhan kreatif dengan bentuk-bentuk yang lebih menarik. Sehingga sebuah puisi tidak saja bicara tentang peristiwa bahasa semata melainkan juga banyak sekali yang bersifat spirit dan menjadi roh bagi puisi termasuk aspek-aspek psikologis penyairnya.(www.tabloid-info.sumenep.go.id)



tulisan ini dibuat untuk mata kuliah manusia dan kesenian indonesia, program studi ilmu filsafat, FIB UI