Rabu, 22 April 2009

Ada dan Pengada

Aku ada di tiitik ini .

Tapi pengadaku menyebar sejauh relasi yang kulakukan dengan dunia sekitar

Aku bisa saja seorang fitri, tapi fitri itu bisa juga menjadi seorang anak dari orang tuanya, bisa juga menjadi seorang mahasiswi filsafat 2007, bisa juga menjadi seorang kakak dari Imbang, bisa juga menjadi salah seorang member filsafat dan psikologi transformatif di group yahoo!,,,
Fitri bisa menjadi siapa saja sejauh orang lain mengenalnya

Tetapi pertanyaannya adalah apakah fitri itu tahu siapa dirinya? Dirinya dalam arti "ada" tanpa "pengada"?

Jika fitri dipahami "ada" tanpa "pengada", apakah dia bisa hilang makna? Hilang identitas? Hilang ke-diri-annya?

Menjadi fitri di titik ini tidak jelas betul dirinya karena ia tidak menjadi "pengada" sekaligus. Dan saya bertanya pada diri saya sendiri,"Hendak seperti apakah saya tanpa "pengada" saya?"

Tapi kembali lagi pada "ada" fitri
Siapa dia dan hendak diartikan apa dia?
Terserah sajalah...

Rabu, 01 April 2009

Aku dalam sepotong Makrocosmos kehidupan

Aku adalah manusia. Siapa yang bisa menyangkalnya? Walaupun sejuta manusia lainnya bilang aku adalah anjing, aku adalah monyet, itu tidak akan merubah sustansiku sebagai seorang manusia. Terlebih manusia yang hidup.

Tetapi apa itu manusia? Segumpal daging dan darah, begitu? Tidak ada istimewanya? Manusia lain mencoba menafsirkan apa itu menjadi manusia. Aristoteles mengatakan manusia adalah binatang yang berakal budi dan seluruh manusia mengamini pernyataan tersebut. Tetapi apa yang istimewa dari menjadi manusia? Terlalu banyak hasrat, kataku. Semua proposisi yang mengagung-agungkan manusia hanyalah pembenaran bagi eksistensi manusia itu sendiri, tetapi kebenaran secara objektif itu sendiri tak melekat pada manusia yang ternyata hanyalah setitik tanda, sepotong bagian dari alam semesta. Kita tidak lebih mulia ataupun lebih hebat dari entitas lainnya.

Kita. Jika menyebut kata ganti orang tersebut apa yang terlintas dipikiranku adalah kata ganti tak sempurna. Kita telah kehilangan objek dan hampir kehilangan makna juga di era posmodern ini. Kita tidak lagi mengacu pada saya dan kamu bersama-sama dalam sesuatu. Kita kini hanyalah sebuah kata ganti metafisik. Kita mungkin masih dapat mewakili saya, tetapi belum tentu dengan kamu, karena saya tidak dapat memastikan kamu apakah kamu benar-benar sepaham dengan saya baik pikiran maupun tindakan. Kita tak lagi disatukan, kita adalah individu yang berlainan sekarang.

Salah satu keunikan manusia adalah ia ingin bahagia. Tetapi apa itu bahagia? Kenapa kebahagiaan menjadi penting bagi manusia?

Semua manusia ingin bahagia. Tetapi apa ukuran kebahagiaan itu? Buatku, bahagia itu tidak terbatas pada kuantitas memori ataupun kesenangan-kesenangan semu yang bisa menguap begitu saja. Kebahagiaan lebih dari pada semua itu. Kebahagiaan adalah sejauh manusia memberi makna pada hidupnya dan ia mengapresiasikannya, ia menikmatinya. Kebahagiaan adalah hal metafisik yang paling rasional. Ia tak berwujud tetapi ia ada karena manusia merasakannya. Tetapi apa itu merasakan kebahagiaan? Adakah yang bisa menjabarkan lewat bahasa? Aku keterbatasan bahasa! Bahasa mereduksi perasaan serta pikiran kita untuk mengemukakan sesuatu kepada manusia lain.

Dan aku melihat sekelilingku orang-orang tersenyum karena mendapat telepon dari orang terkasih, aku melihat seraut kedamaian di wajah seorang tua yang mendapat duduk di kereta ekonomi saat tidak begitu penuh penumpang, aku melihat tawa seorang anak bermain sendiri menjemput imajinasi didalam diri dan mulai meng-konstruksi jiwa, aku melihat canda diwajah mama dan adikku saat santai bersama, aku melihat senyum malu-malu dari seorang cacat yang tak lagi memiliki kedua kaki di stasiun Tebet sambil ia terkadang menjajakan koran dan melihatnya membuatku rindu dengan ayahku, aku melihat senyum diwajah temanku saat kami bercanda di payung kantin kampus karena lelucon lucu, aku melihat secercah wajah ceria saat seorang gadis mendapatkan baju yang telah lama diinginkannya, aku melihat senyuman sekelompok gadis remaja yang asyik membahas trend fashion di majalah, aku melihat nenek tua disampingku saat perjalan menuju kampus bertanya denganku ramah aku hendak turun dimana tetapi wajahnya kuyu dan pakaiannya lusuh, aku melihat seorang penjaja koran cilik di kampusku dan tersenyum menyapaku.

Tetapi apakah itu semua wujud dari perasaan bahagia? Senang? Manusia adalah makhluk yang begitu unik dan beragam. Mereka tersenyum dan tertawa merupakan partikel kecil dari apa yang mereka rasakan. Dan menurutku itu semua sudah lebih dari cukup ketimbang mengejar sesuatu yang lebih abstrak dan naif seperti kekuasaan, harta,jabatan, dan lain sebagainya. Tetapi manusia tentu tidak cukup puas hanya dengan hal-hal kecil. Aku, kamu, dia, dan mereka tentu punya keinginan, hasrat-hasrat kecil semacam itu. Tetapi apakah segala keinginan atau tujuan-tujuan dalam hidup adalah kebahagiaan yang sungguh-sungguh dicari manusia? Mengapa tidak dinikmati saja keseluruhan proses yang mengantarkan saya dan kamu mencapai tujuan? Mengapa kita tak berhenti sejenak dan melihat sekeliling bahwa ada banyak hal yang jauh lebih indah daripada sekedar obsesi? Bahwa terkadang tersenyum walau karena hal remeh asal itu tulus justru lebih menyejukkan jiwa dan membawa suasana riang? Bahwa seringkali kita tak sadar bahwa kita adalah bagian dari makrokosmos, bagian dari dunia yang fana ini?