Senin, 16 Maret 2009

Wiji Tukul: Seni dan Politik, Tidak Hanya Pelarangan Seni tetapi juga Penculikan Paksa

Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversive dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Siapa tak kenal puisi diatas? Tak pernah mendengar? Atau tak peduli? Wajar saja jika puisi diatas tidak terlalu menggairahkan bagi penikmat puisi jenis biasa-biasa saja, penikmat puisi tipe yang tidak begitu menyukai puisi digunakan untuk kepentingan menyalurkan aspirasi si penyair yang mewakili rakyat banyak kepada pemerintah yang memegang status quo dan risih dengan kritikan karena menganggap suatu puisi yang agung adalah puisi yang lahir dari ilham seolah-olah Tuhan menurunkan wahyu atau apalah kepada sang penyair untuk membuat karya. Solah-olah puisi yang baik itu seharusnya yang tidak menimbulkan konflik dan proses dalam membuat puisi diawali dengan consensus atau kesepahaman dengan pendapat John Locke mengenai konsep “tabula rasa”-nya. Bahwa penegasan seni termasuk puisi adalah kertas kosong yang belum ternoda tinta sama sekali. Atau puisi diatas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah teori kesusteraan seperti pendapat Tylor Coloridge(1772-1834) yang berpendapat bahwa puisi adalah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung? Tidak peduli dan tidak perlu dibahas lebih lanjut apakah puisi diatas sesuai dengan pendapat-pendapat kuno tentang bagaimana puisi yang baik itu seharusnya, karena yang lebih penting disini adalah bagaimana estetika itu menghadirkan pengalaman bagi tiap subjek yang berbeda. Walau bagaimanapun itu tetaplah puisi!

Karya seni termasuk puisi adalah bentuk pengejawantahan ide gagasan seseorang dalam menangkap realitas sekelilingnya kemudian dikontemplasikan dengan imajinasi yang kemudian dilahirkan kembali menjadi sebuah karya yang berbeda jauh dengan proses pembuatan karya yang diawali dengan menangkap realitas tadi tetapi sesungguhnya maknanya tidak beda jauh dengan realitas yang ditangkap, hanya saja diolah dengan ketertarikan dan perspektif yang berbeda oleh seseorang yang membuat karya tersebut. Saya tidak setuju dengan anggapan bahwa karya seni dan proses yang mengiringinya terlepas dari realitas fisik dan dianggap bahwa ide gagasan itu muncul tiba-tiba serta mengabaikan kemampuan pancaindera menangkap realitas disekeliling seniman. Tidak ada manusia yang hidup dalam kekosongan dimana ia tidak berkaitan dengan dunia sekitarnya. Ada proses historis yang mengiringi kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk historis. Sehingga kehidupan manusia seperti cara manusia memikirkan serta mengambil keputusan tidak bisa lepas dari pengalaman yang mengiringinya. Artinya manusia lewat pengalamannya adalah makhluk yang tidak kosong, ide gagasannya juga dipengaruhi oleh pengalamannya. Seniman juga tidak terlepas dari historisitas yang menyertainya sehingga mutlak ide gagasan yang hendak disampaikan sang seniman tidak datanga begitu saja dari Tuhan dan lepas dari keterikatan historis maupun pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.

Bertolak dari apa yang diyakini oleh Plato mengenai konsep “dunia ide”-nya, bahwa realitas yang sesungguhnya berada pada tataran ide, berada diluar diri manusia. Bahwa yang ideal adalah yang ada di dunia ide dan hanya ada satu yang paling baik, tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bahwa seniman seolah-olah menangkap yang ideal itu lewat tangan Tuhan dan melepaskan hubungan dengan realitas dunia. Padahal Plato sendiri menganggap bahwa apa yang ada di dunia fisik adalah tiruan dari dunia ide-mimesis. Plato juga tidak serta merta merendahkan kemapuan indrawi dalam membentuk suatu pengetahuan baru. Setidaknya Plato menganggap bahwa pengetahuan yang didapat dari realitas fisik adalah doxa-perspektif saja. Bahkan lebih jauh Plato memandang seniman sebagai peniru dari tiruan.

Kembali kepada permasalaha puisi diatas. Puisi tersebut diciptakan oleh Wiji Tukul, seorang penyair sekaligus aktivis buruh. Wiji Tukul memang terkenal dengan karya-karyanya yang revolusioner, menyuarakan aspirasi rakyat kecil, mengritik pemerintah dengan kata-kata yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Puisinya adalah jenis puisi perjuangan. Hal tersebut bisa dipahami karena latar belakang Tukul yang hidup ditengah-tengah penderitaan rakyat banyak. Ia hidup dilingkungan yang dihuni para buruh pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan lain sebagainya. Sehingga dalam proses mencipta puisi Tukul begitu dipengaruhi oleh suasana kehidupan rakyat kecil disekitar rumahnya. Puisi-puisi yang dibuat oleh Tukul berkisah tentang kehidupan rakyat kecil, pemerintahan otoriter yang tidak mempedulikan kehidupan rakyatnya, penindasan oleh kaum kapitalis, dan berbagai bentuk realitas pedih tentang nasib rakyat kecil. Dalam salah satu bait puisinya, Tukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto.

“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemanyam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!”

Selain bergelut dengan puisi-puisi yang berbau pergolakan rakyat kecil, Tukul juga bertekad menyadarkan orang-orang yang ada disekitarnya dengan penindasan oleh para penguasa. Hal ini dimulai Tukul dari lingkungan tempat tinggalnya. Ia mendirikan sanggar Suka Banjir. Sanggar ini menampung anak-anak sekitar rumahnya dan berkegiatan belajar menggambar, mengarang, membaca, dan berteater di sana. Tukul mengajarkan apa yang tidak diajarkan di sekolah yaitu mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman mereka sehari-hari. Tukul menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak kampong ini agar tak gentar menyatakan kebenaran(Wiji Tukul dan Orang Hilang oleh Linda Cristanty, Mereka yang Hilang dan Mereka yang Dihilangkan diterbitkan oleh IKOHI,2004). Bagi Tukul seni adalah terlibat langsung, menyatu dengan dinamika masyarakat dan bukan imajinasi semata.

Puisi-puisi Tukul memang berseberangan dengan pemerintah Orde Baru yang otoriter. Puisi-puisinya dibuat untuk menyadarkan kesadaran rakyat kecil untk melawan tirani. Hal ini tergambar jelas lewat salah satu puisinya yang berjudul Bunga dan Tembok,

“Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dengan keyakinan kami
Dimanapun tirani harus tumbang!

Hal yang terjadi selanjutnya bukan hanya sekedar pelarangan dalam berkesenian, pelarangan dalam penciptaan karya-dalam hal ini puisi-tetapi lebih dari itu, puisi-puisi Tukul yang dianggap pemerintahan orde baru subversive dan mengganggu tataran kehidupan bermasyarakat karena dapat memicu perlawanan rakyat, mengakibatkan dirinya menjadi salah satu korban penculikan di tahun 1997-1998 yang dilakukan oleh Negara. Hal ini dilakukan karena konsekuensinya atas aktivitas politiknya yang menggerakkan masa buruh dibawah Partai Rakyat Demokratik(PRD) dan jalan berkesenian yang ditempuhnya secara frontal mengkritik pemerintah. Hingga detik ini tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Wiji Tukul. Ia masih dinyatakan hilang walaupun berbagai pihak telah berusaha mencari tahu keberadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal.

Saya memandang dan menganggap Wiji Tukul tidak hanya sebagai seorang aktivis yang vocal menyuarakan suara penderitaan rakyat kecil tetapi juga sebagai seorang penyair, seniman yang menempatkan seni tidak sebagai sesuatu yang dianggap elit dan mahal. Tukul lewat karya-karyanya telah membumikan seni itu sendiri karena menempatkan seni sebagai sesuatu yang hadir disekeliling kehidupan kita. Bahwa seni bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari aspek lainnya seperti politik, ekonomi, dan agama melainkan mengawinkan kembali seni dengan kehidupan sehari-hari manusia. Seni bukan sekedar bagaimana menciptakan keindahan lewat hal-hal yang indah saja tetapi Tukul merubah konsepsi tersebut dengan menampilkan keindahan sebagai sebuah ironi tersendiri dari berbagai kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan dalam puisi-puisinya. Dalam salah satu teori estetika Aristoteles, karya-karya Tukul dapat dikategorikan sebagai tragedy sekaligus komedi karena penyampaiannya yang menarik dan memikat. Bahasa yang digunakan Tukul dalam puisinya begitu jujur dan lugas namun dirangkai menarik sehingga ide gagasan yang diutarakannya membentuk bait-bait yang hidup dan pas membentuk komedi tersendiri tentang permasalahan bangsa yang dilihatnya.

Pendapat ini diperkuat oleh Herbert Marcuse, salah seorang filsuf yang menyatakan bahwa estetika adalah menjadi sebuah jalan keluar untuk mengatasi krisis masyarakat satu dimensi. Apa jadinya jiwa sebuah puisi tidak bisa menangkap dan kemudian menyampaikan pesan-pesan tersebut walaupun disatu sisi harus kita akui sebuah puisi yang terlahir lewat cara dan peristiwa social cenderung naïf lewat kesan individual penyairnya. Namun secara eksplisit kesan-kesan tersebut menjadi tampak lebih nyata, karena dunia bentuk dalam pengertian dunia ruang dan waktu berpadu dengan dunia ide atau gagasan yang dimiliki oleh masing-masing penyair menjadi titik kunci keberhasilan sebuah puisi tentang penyampaian estetik yang dimaksud tanpa harus mencurigai adanya kesan-kesan individual.
Sebuah puisi yang dikatakan berhasil jika apa yang bisa disampaikan dalam menangkap dunia ide disampaikan pula sebagai suguhan kreatif dengan bentuk-bentuk yang lebih menarik. Sehingga sebuah puisi tidak saja bicara tentang peristiwa bahasa semata melainkan juga banyak sekali yang bersifat spirit dan menjadi roh bagi puisi termasuk aspek-aspek psikologis penyairnya.(www.tabloid-info.sumenep.go.id)



tulisan ini dibuat untuk mata kuliah manusia dan kesenian indonesia, program studi ilmu filsafat, FIB UI

Senin, 29 Desember 2008

Aku dan Semesta

Semesta bertindak
Semesta bercakap
Semesta berpikir
Semesta mendengar, dan Semesta berkehendak
Seruan alam berdengung keseluruh jagad
Aku masih sibuk sendirian sambil menulis
Aku ingin mengenang, dikenang, dan terkenang oleh semesta yang selalu dinamis
Aku pada akhirnya hanya ingin bercerita

Senin, 22 Desember 2008

Menyentil Kemanusiaan Kita Lewat HAM

“Peringatan”
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan !
(Wiji Thukul)



Manusia. Saya adalah manusia. Aufira Utami adalah manusia. Djohan Rady adalah manusia. Hery Dwi Prasetyo adalah manusia. Taufik Basari adalah manusia. Munir adalah manusia. Begitu pula dengan Raharja Waluya Jati, Nezar Patria, Nani Nurani, Andi Arief, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Ibu Sumarsih, Wiji Thukul, Pak Bejo, dan mereka yang diberkahi dengan akal pikiran dan hati nurani adalah manusia. Siapa yang menyangkal fakta tak terbantahkan tersebut? Dia? Mereka? Soeharto? Prabowo? atau mungkin mereka semua yang punya “kuasa” atas negeri yang sedang mereka pimpin? Jawabannya: TIDAK! Tidak seorangpun yang dapat menyangkal bahwa saya, kamu, anda, dia,, mereka, kita adalah manusia karena kita memiliki akal pikiran dan terlebih lagi hati nurani.

Manusia. Satu kata itulah yang menyatukan saya, kamu, anda, dia, mereka. Karena kita sama-sama manusia. Keberagaman yang ada dan melekat pada setiap kita entah itu warna kulit, bahasa, ciri fisik, agama, jenis kelamin, kebudayaan, dan seterusnya tidak bisa mereduksi siapa diri kita sesungguhnya, seorang manusia yang memiliki akal pikiran serta hati nurani. Dan itulah yang mendasari segala kebebasan serta kemerdekaan kita. Pada pasal 1 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ditekankan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kemerdekaan dan mempunyai martabat serta hak-hak yang sama dengan manusia yang lain tanpa ada pembedaan pun.1 Sehingga tidak ada seorang yang berhak merampas itu semua dari manusia lain tanpa alasa apapun.

Kehidupan masyarakat yang berlandaskan keadilan, kemerdekaan, serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia masih merupakan sesuatu yang utopis diwujudkan terutama di negeri yang katanya menjunjung Ke-Bhineka-an di dalam masyarakatnya. Sungguh sesuatu yang amat mustahil terwujud bagi saya. Karena landasan mendasar berupa keadilan, kemerdekaan, serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia belum dipenuhi dan dijamin sepenuhnya oleh para penyelenggara negara di negeri yang ber-Bhineka ini. Rakyat belum sepenuhnya, memperoleh hak-haknya; hak untuk hidup layak, hak memperoleh pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, hak untuk bekerja, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak memperoleh kesamaan hukum dan berbagai macam hak lainnya

Sejarah mencatat bagaimana penegakkan HAM di negeri ini belum mendapatkan tanggapan serius oleh pemerintah, berbagai kasus mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya tidak kunjung mendapat kejelasan dan kepastian seperti kasus penculikan dan pemenjaraan banyak orang yang dianggap simpatisan PKI di tahun 1965. Salah seorang diantaranya ialah Ibu Nani Nurani, seorang penyanyi dan penari istana ditahun 60-an, ditangkap dan dipenjarakan selama kurang lebih tujuh tahun tanpa proses pengadilan dan tanpa tahu sebab pasti mengapa dirinya ditangkap, walaupun desas desus yang beredar karena ia dianggap sebagai mata-mata PKI. Selain itu ada juga kasus penembakan misterius di tahun 1983–1984 yang menewaskan lebih dari 300 orang. Kasus penembakan masyarakat sipil di Tanjung Priok tahun 1984, hingga kasus penculikan paksa serta penghilangan para aktivis seperti yang menimpa Raharja Waluya Jati, Andi Arief, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Wiji Thukul, Yani Avri dan masih banyak lagi yang terjadi ditahun 1996-1998 dimana sebagian diantara mereka masih dinyatakan hilang sampai sekarang.

Sungguh merupakan ironi tersendiri bagi sebuah negara yang menjunjung ke-Bhineka-an dimana menekankan keberagaman sebagai sesuatu yang menyatukan kita semua. Tetapi ternyata ke-Bhineka-an yang dijunjung tersebut dan dijabarkan secara jelas di dalam Pancasila dan UUD 1945 itu hanyalah slogan yang indah diucapkan saja tetapi pahit dalam pelaksanaannya. Buktinya pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh negara dengan alatnya yaitu TNI dan polisi yang seharusnya menjamin kebahagiaan hidup serta pemenuhan-pemenuhan hak asasi rakyatnya justru malah membungkamnya.

Para korban pelanggaran HAM tidak hanya tertekan secara psikologis tetapi juga mengalami siksaan fisik, sosial, ekonomi, dan lainnya. Bapak Kaslin Sastrowidjojo merupakan salah seorang korban penangkapan paksa di tahun 1965. Ia dituduh berpihak kepada PKI padahal sebenarnya ia termasuk seorang pahlawan yang telah berjuang jiwa raga demi menjaga keutuhan bangsa. Pada tahun 1945, Pak Kaslin memimpin proklamasi kemerdekaan di Ambarawa. Hingga detik ini Pak Kaslin tidak diketahui nasibnya, apakah sudah meninggal atau tidak. Karena keluarganya tidak pernah tahu apakah Pak Kaslin dibebaskan dari penjara atau tidak. Yang jelas ia menghilang untuk selama-lamanya. Ditangkapnya Pak Kaslin tentu membawa duka tersendiri bagi orang-orang yang menyayanginya, terutama bagi istri dan anaknya, keluarga Pak Kaslin kehilangan tulang punggung mereka. Gaji Pak Kaslin yang sebelumnya bisa diambil oleh anaknya, tiba-tiba saja ditahan dan tidak bisa diambil lagi. Sehingga otomatis keluarga ini kehilangan sumber pendapatannya. Tidak hanya itu, tekanan sosiall yang dialami keluarga Pak Kaslin juga cukup memilukan. Negara pada saat pemerintahan Soeharto sukses menciptakan citra buruk bagi orang-orang “Kiri”. Mereka dianggap sebagai orang yang amat jahat, tidak ber-Tuhan, dan pembunuh. Anak Pak Kaslin, Suswardoyo mendapat perlakuan distrimanatif ketika orang-orang tahu ia adalah anak tapol. Suswardoyo yang masuk AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidan mendapatkan posisii yang bagus dan pangkatnya tidak pernah naik.2 .

Kisah Pak Kaslin berbeda dengan kisah Raharja Waluya Jati yang sempat menjadi korban penculikan paksa di tahun 1998. Jati ditangkap anggota Kopassus akibat keaktifannya menyuarakan kritikan-kritikan tajam semasa pemerintahan Soeharto. Jati sempat disiksa oleh orang-orang yang menculiknya, dimana ia dipukul bertubi-tubi, disetrum, ditidurkan diatas balok es, dan sebagainya hingga akhirnya dibebaskan.

Berbagai kisah yang dituturkan menjadi bukti bahwa penegakan HAM di Indonesia bukan menjadi prioritas utama bila dibandingkan dengan permasalahan-permasalahan lain yang menimpa Indonesia, seperti Pemilu, Krisis Global, Korupsi dan lain sebagainya. Usman Hamid, koordinator KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengatakan bahwa kondisi HAM di Indonesia begitu paradoks. Di satu sisi menimbulkan kemajuan, namun disisi lain juga mengalami kemunduran. Kemajuan yang dimaksud oleh Usman Hamid ialah setelah berakhirnya pemerintahan orde baru, Indonesia mulai meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang mengangkat isu-isu HAM, selain itu juga adanya pembaharuan peran pemerintah lewat amandemen UUD 1945 dan peraturan pemerintah. Jika sebelum reformasi peran pemerintah dalam hal ini Presiden dan pembantu-pembantunya begitu dominan dan otoriter,, maka setelah reformasi perangkat hukum yang mendukung kekuasaan pemerintah diamandemen dan bahkan dicabut demi tidak terjadi lagi kekuasaan yang begitu otoriter. Sedangkan kemunduran yang terjadi dalam rangka penegakan HAM di Indonesia adalah masih banyaknya kasus-kasus yang belum terselesaikan mulai dari kasus-kasus yang terjadi di tahun 1965 hingga 1998. Hall tersebut menandai bahwa belum cukup keseriusan pemerintah untuk mengusut tuntas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting. Banyaknya korban hanya dipandang sebatas permasalahan kuantitas semata. Padahal banyak diluar sana keluarga korban pelanggaran HAM yang meminta kejelasan kasus yang menimpa orang terkasih mereka. Status “hilang” yang disandang oleh sebagian korban pelanggaran HAM menimbulkan syok tersendiri bagi keluarga mereka. Ketidakpastian kondisi korban menempatkan keluarga mereka diposisi paling menyakitkan dalam hidup mereka. Harapan itu selalu ada walau kadang padam, tetapi sesungguhnya ia tidak pernah matii hingga sebuah kepastian datang, entah apapun itu.

Merujuk pada berbagai teori mengenai HAM, hampir semua pendapat mengakui bahwa setiap warga negara–manusia- dilahirkan dengan membawa kemerdekaan dan kebebasan. Thomas Hobbes mengakui bahwa asali manusia adalah sama dimana ia bebas atas dirinya. Di dalam kebebasan itu terkandung hak-hak yang dapat membuat manusia saling serang demi kepentingannya sendiri sehingga dihadirkannya peran negara dimana hak-hak tersebut diserahkan sepenuhnya kepada negara. Namun, semua hal itu dilakukan demii kebahagiaan dan ketentraman hidup warga negara-negaranya.3 Berbeda denganHobbes, John Locke juga mengakui bahwa manusia dilahirkan bebas dan merdeka dan sudah menjadi peran serta tugas negara menjaga hak-hak warga negaranya agar tidak terjadi chaos.4 Yang menjadi penekanan disini adalah adanya pengakuan hak-hak serta kebebasan setiap manusia dan peran negara adalah menjaga hak-hak tersebut serta mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan hidup seluruh warga negaranya tanpa terkecuali dan ada akses untuk menuju itu.

Jika kita kembali kepada konteks kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, jelas negara mengingkari sebagian hak-hak warganya diantaranya hak mengungkapkan pendapat, hak hidup bebas, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak kebenaran dan sebagainya. Karena sampai sekarang para korban tidak kunjung memperoleh haknya secara penuh sebagai seorang warga negara. Selain itu para pelaku yang seharusnya dihukum atau diadili dimuka pengadilan sampai sat ini masih bebas berkeliaran. Para penjahat kemanusiaan ini justru kian jumawa karir politiknya. Sebagian dari mereka seperti Wiranto dan Prabowo mencalonkan diri menjadi presiden pada pemilu 2009. sungguh aneh benar bangsa ini! Mereka yang tidak bersalah dan berusaha membela rakyat dari cengkeraman dan kediktatoran pemerintah dituduh subvertif, pengkhianat negara, disiksa, bahkan dibunuh secara keji atas nama stabilisasi bangsa, menjaga harmonisasi bangsa.. Sebenarnya apa itu harmonisasi, apa itu stabilisasi keamanan, apa itu kesatuan dan persatuan atas nama Pancasila dan UUD 1945? Semua itu dilakukan semata-mata demi menjaga wibawa negara di mata rakyatnya. Semua itu kepura-puraan. Semua itu omong kosong! Negara masih berkilah bahwa segala tindakan yang dilakukan demi menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan pada salah satu artikel terkait yang dimuat didalam koran KOMPAS tertanggal 19 Desember 2009, menteri pertahanan, Juwono Sudarsono mengatakan bahwa kasus-kasus masa lalu jangan dianggap berlebihan dan dikategorikan sebagai pelanggaran ham berat. Semua itu bersifat anekdotal. Lebih jauh ia mengatakan bahwa apa yang pernah terjadi dulu dalam kaitannya dengan peran TNI dan polisi sudah sesuai dengan prosedur bahwa aparat negara berhak melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga stabilisasi bangsa. Menurutnya permasalahan pelanggaran HAM biar menjadi sebatas penilaian publik tanpa perlu dibesar-besarkan. Jadi jika begitu siapakah yang hatus bertanggung jawab atas semua kasus pelanggaran ham yang terjadi kepada warga negaranya jika ngara saja hanya menganggap ini sebagai masalah sepele yang tidak perlu dipusingkan?

Bertolak dari teori Hobbes, mungkin saja segala tindakan yang dilakukan negara demi menjaga stabilitas dan harmonisasi itu dapat dibenarkan. Menurut Hobbes negara yang baik adalah negara yang berkuasa penuh atas warga negaranya dengan tujuan demi menciptakan ketentraman dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tetapi jika kita kembali kepada kondisi manusia yang sesungguhnya bebas dan merdeka, teori Hobbes itu dapat ditentang. Alasan pemerintah bisa ditentang dan dipertanyakan ulang. Kondisi masyarakat ala Hobbes berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang ini yang lebih sadar akan hak dan perannya. Atas alasan apapun negara tidak berhak mengingkari kebebasan warga negaranya yang peduli dengan nasib bangsanya. Universalisme HAM bagaimana pun harus ditegakkan! Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi berbagai konvensi seputar HAM perlu merealisasikannya. Tidak sekedar cap saja. Hal ini penting bagi masa depan bangsa itu sendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menjamin pemenuhan hak-hak warganya.

Selesaikanlah kasus-kasus pelanggaran HAM yang dulu pernah terjadi. Kembalikanlah hak-hak mereka yang dirampas seperti hak hidup bebas, hak ekonomi, hak reputasi, hak kebenaran, dan lainnya. Jika kita tetap mau konsisten bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum sebagai peraturan tertinggi dan bukan berdasarkan atas apa kata penguasa, maka jeratlah orang-orang yang menjadi dalang atas semua peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Hapuskan segala impunity yang terus dijaga oleh para penguasa. Negeri ini butuh bukti bukan janji. Para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM butuh kejelasan dan kepastian. Jangan berikan lagi mereka harapan jika tidak ingin diwujudkan. Mengakui kesalahan masa lalu yang pernah dilakukan negara akan mempersempit jurang kekuasaan itu. Jika perdana menteri Australia, Kevin Rudd dengan berbesar hati mau mengakui kesalahan yang dulu pernah dilakukan pemerintah terhadap suku Abongin, mengapa Indonesia tidak bisa jika katanya negeri ini menjunjung ke-Bhineka-an dan adat budaya bangsa timur yang “dianggap” tahu diri ?


Sumber Acuan :

Patrick Hayden : Philosophy of Human Rights
IKOHI : Mereka yang Hilang dan Mereka yang Ditinggalkan
Suciwati : Reformasi Tanpa Penegakan HAM (Suara Mahasiswa: No. 24 / XV / 2008)
Wawancara dengan Usman Hamid
Wawancara dengan Nani Nurani (13 Desember 2009)
Universalitas HAM: “Beyond Question” olehTaufik Basari, SH, S.Hum, LL.M (2006)
Kesaksian Diantara Ketakutan dan Ketidakpastian oleh Rajarja Waluya Jati.


*tulisan ini saya buat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah filsafat dan ham dengan dosen Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M

Harapan itu, harapan siapa?

Kubangun harapan itu yang kemudian berevolusi menjadi cita-cita
Pilarnya ku ingin menarik sebanyak mungkin harapan orang lain yang terkubur hingga yang tampak hanya karat
Kudengar sang arsitek-ayahku-berkata dahulu waktu itu,"Semaikan kebaikan itu dari ladang hatimu sendiri. Adil dan bijaksana adalah hal tersulit untuk dicapai,tetapi kita bisa jika sungguh-sungguh. Biarkan orang lain beroleh manfaat dari apa yang kita berikan selama itu tulus."
Kini kubangun istana itu perlahan, biarlah kujemput nestapa asal mereka tidak kehilangan harapan untuk terus hidup, asalkan mereka masih bisa tersenyum kepada dirinya dan dunia, asalkan hak itu ditegakkan
Untuk semua harapan yang pernah tersemai, ia sesungguhnya menuai
Semoga dapat kubangun cita-cita itu,saudara-saudariku

Senin, 15 Desember 2008

Di kereta ekonomi, hari ini dalam sebuah perjalanan

Sebenarnya apa nilai manusia itu? Seorang bocah lelaki berjalan zig-zag. Bukan untuk melucu! Ia buta. Tongkatnya bermain agak berisik ketika menuntun bocah lelaki itu. Penampilannya sangat sederhana tapi tak teratur. Kukira ia ingin mengemis. Tidak! Tidak, ia tidak mengemis bahkan menengadahkan tangannya pun tidak. Ia ingin duduk. Sekedar itu, tidak lebih. Ketika seorang penjual salak berseru semangat,"salak! Salak!", anak itu membeli satu salak dan dimakannya sendiri dengan raut muka penuh kepolosan dan rasa suka. Saya telah mencoba menarasikan si bocah buta itu. Dan saya menanyakan kembali, siapa dan apa manusia itu?

Minggu, 14 Desember 2008

Perginya Sang Marxist Religius

Salah seorang filsuf hari ini telah meninggalkan kita. Ia adalah Singkop Boas( maaf jika ada kesalahan nama). salah seorang filsuf itu pergi entah kemana, ke suatu tempat baru yang belum pernah kita ketahui karena kita belum pernah benar-benar pergi kesana.

Entah kenapa hati ini sakit dan pedih mendengar kabar duka tersebut. Momen-momen bersama dengan beliau dan juga teman-teman yang lain begitu indah dan lucu untuk dikenang. Narasi pohon pisang yang dikemukakannya terbukti secara ajaib, bahwa pisang rela mengorbankan sebagian dirinya untuk gugur agar tunas yang baru bisa tumbuh lebih baik lagi. Dan pak Boas adalah pohon pisang tersebut. Salah seorang filsuf entah siapa pernah berujar bahwa kehidupan itu adalah mengenai kematian. Kita hidup kemudian mati adalah untuk kelangsungan generasi mendatang. Tak ada manusia yang hidup kekal.

Pak Boas, selamat jalan. Kau adalah Marxist religius yang pernah saya tahu. Pergilah dengan damai dan sesuai dengan apa yang kau yakini. Terimakasih atas segala hal yang telah kau berikan kepadaku, sebuah pelajaran berharga bagaimana menjalani hidup ini dengan semangat dan kerja keras. Saya teringat dengan kata-katamu,"Jadilah seperti orang Jerman yang memulai sesuatu dari yang paling rumit dan jangan jadi orang Indonesia yangs selalu memulai segalanya dari yang paling gampang". Dan aku sedang menjadi orang tersebut, Pak.

Sekali lagi selamat jalan....

Rabu, 10 Desember 2008

Sense, kau jahat!

Lagi-lagi sense menipu. Telak! Mutlak! Absolut! Jika sense yang menipu tidak berkaitan langsung dengan hati dan roh, tak mengapa biar ditipu berapa kalipun. Sense itu penipu! Sense itu telah menipuku. Aku telah ditipu oleh sense. Dan aku meradang! Serasa bodoh dan sakit hati jadinya. Sense, aku terjatuh lagi. Entah harapan apa yang akan kau sodorkan padaku untuk membuatku kembali bangkit?