Rabu, 03 Juni 2009

Kritik Seni Estetika


Jakarta Biennale Community College Karya Khairuddin Hori: Partisipasi Publik dalam Aspek Ekstra Estetik

Oleh: Fitri Kumalasari, 0706292302



Saturday, January 31, 2009

You are invited!




Dear Friends,

I have been invited to share a work for Jakarta Biennale 2009 which is scheduled to take place from 06 - 27 February 2009 at the Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia (amongst its other venues, check out www.jakartabiennale.com).

With funds allocated as my artists' per diem, I have decided to set up a 'college' of sorts, one that I am calling 'Jakarta Biennale Community College'. It is an open school by all, for all.

I would like to call upon any of you who might be interested in sharing some knowledge with the public to come forward and contribute to the college's curriculum.

Participation and facilitation of workshop/lecture/lesson/tutorial/seminar e.t.c is not limited to any specific audiences or subjects. You might want to share some secret knowledge of astronomy, maybe a traditional grandmother's recipe, a conspiracy theory, perhaps a secret martial arts system or even, a technological breakthrough. Each session provides a modest allowance of 100,000 Indonesian Rupiah for its facilitator/s.

Should you be interested in spreading some love at the Jakarta Biennale Community College, please communicate your intentions to Miss Diah Sekarwidhi through an email to JktBiennaleCommunityCollege@gmail.com.

Your participation is our treasure. :)



cheers,
Khai



Dan saya memenuhi undangannya pada Jumat, 20 Februari 2009 untuk melihat secara langsung karya seniman asal Singapura ini disamping tentu untuk melihat-lihat karya seni lain yang ditampilkan pada Jakarta Biennale XIII 2009 di Galeri Nasional, Jakarta.

Karya Khairuddin Hori yang bertema "Jakarta Biennale Community College" merupakan sebuah ruang di dalam Galeri Nasional yang terletak disudut kanan, berpencahayaan temaram dan difungsikan sebagai sebuah ruang kelas lengkap dengan beberapa buah meja-tulis, sebuah whiteboard, serta tak lupa spidol dan penghapus sbagai alat pendukung pengajaran. Begitu sederhana dan biasa, tanpa ornamen hias yang menghadirkan kesan mencolok. Benar-benar seperti ruang kelas yang sering kita jumpai di sekolah-sekolah ataupun di perguruan tinggi. Tetapi bukan sekedar kesan biasa dan sangat keseharian yang membuat saya tertarik dengan karya Hori ini, letak kekuatan seninya adalah pada aspek ekstra estetik yaitu partisipasi publik.

Ketertarikan saya terhadap karya Khairuddin Hori bermula ketika pada serangkaian acara Jakarta Biennale XIII 2009, Hori menjadi pembicara pada Artis Talk II di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia bersama dengan Eko Nugroho, Senin 9 Februari 2009. Dalam presentasinya, Hori memutar sejumlah video mengenai karya-karyanya yang berupa performance art, seni teater, dan lain sebagainya. Dan yang menarik hampir sebagian karyanya melibatkan partisipasi publik-entah meminta bantuan seorang sales promotion girl untuk ikut dalam pertunjukkan teaternya maupun mempersilahkan orang lain mengisi karyanya dengan beragam hal seperti puisi, surat cinta, dan lain-lain dalam Wunderspaze-Hori di Singapura.


Partisipasi Publik
Ketika sebuah karya hadir dihadapan publik, karya tersebut tidak lagi sekedar milik si pencipta tetapi juga menjadi milik masyarakat dengan pemaknaannya yang beragam. Seni hadir tidak lagi dengan satu interpretasi tunggal si pencipta, tetapi bagai sebuah ruang kosong yang bebas untuk dieksplorasi siapapun. Dan saya menangkap itu semua secara unik dari Jakarta Biennale Community College karya Khairuddin Hori.

Sebagai sebuah karya seni yang sekedar ditampilkan di ruang publik, Jakarta Biennale Community College rupanya bukanlah sebuah hasil akhir dari karya Hori. Jakarta Biennale Community College lebih kepada karya pasif yang belum selesai dan untuk mengaktifkan atau menyempurnakan karya tersebut, Hori mengundang partisipasi publik untuk mengisi ruang kelas tersebut dengan diskusi, pengajaran, kelas hobi dan ketrampilan, sampai bedah buku dengan tema bebas mulai dari ekonomi, politik, budaya, sosial, ataupun keseharian. Siapapun boleh berpastisipasi didalamnya mulai dari mahasiswa, karyawan kantor, ibu rumah tangga, sampai anak-anak.

Partisipasi publik yang dihadirkan Hori untuk ikut berkarya merupakan hal yang unik dan cerdas dalam penginterpretasian suatu karya. Hori seolah menciptakan sebuah ruang, framework, bingkai yang belum terisi dan akan terisi lewat partisipasi publik dengan beragam pemaknaannya. Ruang kelas yang diisi dengan kelas diskusi politik tentu menghadirkan gambaran serta pemaknaan yang berbeda dengan ruang kelas yang diisi dengan kelas ketrampilan anak-anak. Keberagaman yang dimaknai secara berbeda oleh beragam partisipan membuat karyanya semakin hidup dan kaya. Hori membangun sebuah jembatan yang menghubungkan seniman dengan masyarakat luas lewat partisipasi publik dalam mengisi suatu karya secara bebas. Tidak hanya itu, karya yang melibatkan partisipasi publik sebagai bagian dari karya itu sendiri merupakan sesuatu yang menarik dan membangkitkan optimisme masyarakat luas bahwa siapa pun bisa berkesenian menurut cara mereka sendiri.

Hori dan karyanya mencoba membumikan seni yang seringkali dianggap elitis, sulit dipahami, dan mahal oleh banyak orang dengan mengembalikan makna seni bagi kehidupan kita. Jika bagi sekumpulan ibu-ibu seni dipahami sebatas bagaimana membuat masakan yang enak, maka Hori lewat Jakarta Biennale Community College memberikan tempat untuk itu. Jika bagi sekelompok mahasiswa seni berkaitan dengan politik, maka Hori pun memberikan tempat untuk itu. Bahwa hal-hal biasa dan sangat keseharian yang terlihatr dari Jakarta Biennale Community College memberikan "rasa" tersendiri bagi pemaknaan suatu karya.


Totalitas dalam Proses Menjadi
Melihat dan menikmati Jakarta Biennale Community College mengingatkan saya kepada Hegel dan dialektikanya yang memunculkan totalitariasme dalam proses menjadi. Hori yang menciptakan ruang kelas adalah sebuah tesis. Ruang kelas yang ada bukanlah hasil akhir dari karya Hori. Kemudian ia mengundang partisipasi publik untuk mengisi ruang kelas tersebut dengan beragam kegiatan sesuai dengan keinginan partisipan adalah tesis tambahan-saya menolak menyebutnya antitesis, karena tidak perlu ada yang dibantah dari tesis pertama-yang memberikan pemaknaan baru bagi karya tersebut. Dan dari sini muncul sintesis bahwa Jakarta Biennale Community College adalah keseluruhan, totalitas dari penggabungan ruang kelas ciptaan Hori dengan partisipasi publik dalam mengisi ruang kelas tersebut. Totalitas yang hadir bukan suatu akhir dari pemaknaan karya Hori karena dengan tema kelas yang berubah sesuai dengan siapa partisipan yang mengisi tentu terus menjadi proses yang tak selesai begitu saja hanya dengan satu makna. Pemaknaan yang hadir tidak selalu sama karena tesis tambahan yang ada berubah dan sehingga totalitas yang hadir terus dalam proses menjadi.

Pada akhirnya, Jakarta Biennale Community College bisa dijadikan sebuah sanpel untuk melihat praktek artistik yang berangkat dari kesadaran tentang pentingnya relasi sosial. Ruang kelas itu akan memperlihatkan kehadirannya sebagai sebuah karya seni, justru ketika ia diokupasi menjadi ruang interaksi dan partisipasi yang nyata.1

Dan saya menyetujuinya.



Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam ruang kelas Jakarta Biennale Community College. (sumber:www.jakartabiennale09.blogspot.com)
Hidup adalah ruang tak berbatas bagi pencarian jati diri manusia
Hidup adalah sebuah jalan panjang, sepi, jauh dari hiruk-pikuk zaman
Dan kita berjalan sendiri di jalan yang panjang itu

Zaman hadir sebagai sebuah refleksi dari sebagian perjalanan hidup
Kegemerlapan, keceriaan, kemegahan, kebesaran tiap zaman selalu bercerita tentang sejarah manusia, sebuah perjalanan yang belum tuntas

Zaman kita, banyak orang berbicara tentang kapitalisme global, maraknya teknologi, terorisme, kekuasaan, tumbangnya sosialisme, krisis ekonomi, dan berjuta tema lain bergema disekitar kita
Riuh rendah kesenangan hadir pada hidup kita yang sepi, namun justru mereduksi diri
Perjalanan terhenti dan arahpun bercabang banyak, padahal tadinya hanya ada satu arah: ke depan

Tetapi ada orang-orang yang terus berjalan ke depan, sendirian
Dan mereka memiliki cita-cita, mimpi, dan harapan yang menunggu di depan sana
Ada keyakinan bahwa hidup adalah perjalanan panjang demi suatu tujuan, yaitu diri sendiri
Dan hidup tak lagi tereduksi kesenangan diri karena bahagia telah tergenggam walau tak kunjung pasti

Apa yang Kuketahui Tentang Hidup?

Apa yang kuketahui tentang hidup? Tentang Tuhan? Tentang kebahagiaan? Tentang kepedihan? Tentang semua rasa?

Aku hanya tahu sedikit tentang hidup, tentang Tuhan, tentang merasa bahagia, tentang merasa pedih, dan tentang merasakan semua hal.

Hidup mengajarkan kepadaku tentang ketidakpastian. Bahwa tidak ada hal yang pasti di dunia ini kecuali kematian. Dan ditengah ketidakpastian yang mendaras itu, kita selalu ingin sesuatu menjadi pasti dan jelas bagi diri sendiri. Di tengah gurun ketidakpastian yang maha luas, banyak cita-cita dan harapan yang dipancangkan dengan berjuta pasak keyakinan.

Hidupku adalah oase ditengah padang pasir. Ia fatamorgana. Ia menjelma menggoreskan rasa pada hidupku yang tandus. Aku merasa bahagia, pedih, kecewa, marah, putus asa, dan segala macam rasa yang tercipta lewat sebuah totalitas pespektif: SEMPURNA.

Ditengah oase itu aku tahu Tuhan bersamaku. Selalu. Tetapi aku seringkali berpaling dan mencari Tuhan baru. Dan aku merindukan Tuhan lebih dari apa yang kusadari untuk lebih membuat sejuk oaseku.

Hidupku adalah sebuah kisah mengenai cita-cita dan harapan. Hidupku adalah sebuah perjuangan melawan diriku yang lain. Hidupku adalah karang yang selalu diterjang ombak. Tetapi aku tidak sekuat karang. Aku hanya mencoba menjadi kuat demi sesuatu hal yang tak kutahu pasti apa itu dimasa depan.

Hidupku adalah sebuah kegiatan berpikir tanpa akhir yang mengantarkan kepada berbagai pilihan yang harus kuambil untuk terus bertahan dan bersiap menerima konsekuensi di kemudian waktu.

Hidupku tidak selalu terpelitakan cahaya, melainkan seringkali gelap tak terhingga. Hidupku adalah sebuah persimpangan antara cahaya dan kegelapan. Hidupku adalah senja yang temaram diantara gelap dan terang. Hidupku adalah sebuah zona abu-abu.

Tetapi hidupku sempurna. Sangat sempurna.karena oaseku terisikan oleh segala saripati hidup dan pengalaman diri sendiri dan orang lain. Karena hidup yang kujalani adalah kenangan tentang rasa; rasa bahagia, rasa sedih, rasa marah, rasa kecewa, dan berjuta rasa lainnya. Karena disekitarku selalu ada orang-orang yang menyayangiku apa adanya, orang-orang yang ikut memberikan rasa pada hidupku yang tak tahu sampai kapan berakhir. Orang-orang paling hebat yang pernah kukenal. Karena hidupku adalahsebuah perjalanan spiritualku untuk memahami Tuhan yang kukenal selama hidup. Karena aku menikmati setiap detik kehidupanku. Dan itu semua adalah alasan yang membuat hidupku sempurna. Sangat sempurna,,,