Selasa, 09 Maret 2010

Surat Tentang Hujan


Hujan hari ini tertanggal 9 Maret 2010 dan Aku dalam perjalanan pulang menuju rumah. Apa yang hendak Kukabarkan pada keindahan tiada terperi disaat hujan datang? Hujan adalah keriangan bagiku. Oase yang menyejukkan. Ditemani alunan merdu The Smiths, Kings of Convenience, dan Keane, Aku menikmati hujan sore ini. Hujatan kilat yang menyambar-nyambar mengingatkanku pada Neptunus, mengingatkanku pada Syiwa yang bersenjatakan trisula. Begitu fantastis, begitu erotis.



Lewat hujan Aku dapat menghirup bau tanah basah yang sangat kurindukan. Aku melihat keriangan tumbuhan yang berbinar cerah dalam balutan warna hijaunya. Aku menangkap keriangan pada saat hujan turun. Hujan bagiku adalah katarsis dengan dosis supra estetis. Suatu karya seni yang melampaui batas zaman, yang tidak dapat dikenakan padanya kategori-kategori tertentu. Hujan bagai membuka kabut pekat dalam penatnya hari. Ia anugrah, ia indah!

Aku masih mendengarkan alunan lagu disertai sambaran kilat yang memekakkan telinga. Di dalam kereta ekonomi sore hari disaat hujan, Aku masih asyik melihat orang-orang sibuk sendiri. Berbagai wajah hadir padaku. Menampilkan beraneka macam ekspresi, beberapa penuh ekspetasi walau sisanya mungkin ingin mati. Bagiku ini adalah kekayaan tiada bandingan. Bahwa hidup selalu kaya, begitu kaya. Dan hujan masih menemani sementara Tuhan asyik mengawasi.

Aku sangat suka hujan. Ia semarak, mungkin karena banyak. Ia gaduh tapi tak membikin peluh. Aku ingin menyatu dengannya, ingin basah dan merasa katarsis. Aku mencintai hujan karena ia meramaikan hariku yang seringkali berkabut. Ia adalah akumulasi seluruh masa bahagiaku.

Rabu, 03 Maret 2010

Parodi

Parodi dan komedi
Parodi dan tragedi
Komedi dan tragedi

Apa beda?
Apa sama?

Semuanya terjalin dalam jaring-jaring diri dan kehidupan
Meredup dan bersinar bagai hentakkan degup irama yang membumbung konstanta nadi
Memberikan ekspetasi sekaligus ekspedisi
Dalam hidup ada parodi, komedi, sekaligus tragedi
Hidup adalah suatu drama yang absurd
Diantara hentakkan waktu dan keterlibatan ruang yang menganga terbatas, kita sang pejuang beraksi dan merasa
Ya, kita telah jatuh cinta pada hidup yang demikian adanya

Senin, 18 Januari 2010

Memilih Menyerah

Kepada Teman,

maaf,
pada akhirnya simpul yang selama ini kita rajut harus kupecah ikatan utamanya lantaran kutak mampu. aku tak mampu menangung diriku sedemikian besar pada sesuatu yang tidak pernah kuyakin sebelumnya. kepercayaan kalian yang terdeskripsi dalam wujud aku tak mampu kujalankan dengan sebaik yang mungkin pernah kita impikan sebelumnya.

maaf,
pada akhirnya aku harus menyatakan ini, bahwa aku tak pernah merasa yakin dengan kalian yang disampingku. aku tak pernah merasakan kalian dlam wujud dukungan nyata seperti pada awalnya. aku tak punya kepercayaan akan kita yang melebur menjadi sebentuk komunal baru.

maaf,
mungkin aku egois dan terlalu menginginkan sempurna, tetapi aku juga melihat luka dari setiap ketidakpercayaanku terhadap diriku sendiri. aku melihat hampir segalanya dari setiap jalinan kita dan aku tak dapat memungkiri aku melihat kita dalam setiap jengkal kekurangan maupun kelebihan kita. dan itu sungguh memuakkanku

maaf,
pada akhirnya aku harus mengaku kalah dari setiap rintangan yang menjaring. karena aku tak hanya melihat gagal dalam visiku, tetapi juga labirin yang tidak membuka celah bagiku untuk mengurai harapan menjadi kenyataan-atau setidaknya belum

Kamis, 19 November 2009

L A U T

aku suka laut karena birunya membelah kumpulan coklat daratan yang kering sore ini

aku suka laut karena ombaknya berbisik dan menggelitik

aku suka laut karena ia mengantarkan bau garam padaku, merangsang diriku untuk menyatu dengannya

aku suka laut karena aku dapat menyusuri garis-garis pantai sendirian dan menatap angkasa yang maha luas, menyiratkan ketakterbatasan hidup yang ternyata terbatas

aku suka laut karena ia misterius, kedalamannya merupakan kengkuhan sekaligus fatamorgana

aku suka laut karena disini aku dapat melihat matahari berganti senja dan berubah gelap

aku suka laut karena ia tak kenal lelah mencoba mengikis karang

aku suka laut karena dahulu ayah sering mengajakku menjengukmu sambil menuntunku sengan segenggam coklat ditangan

dan aku suka laut karena senyum ayah tertinggal disitu


(Pantai baron-jogja, 200909)

Gemintang

aku melihat gemintang bertaburan diatas tundra kemarau

aku melihat gemintang bersinar terang ditengah pekatnya malam

aku melihat gemintang kokoh walau angin malam berhembus semarak

aku melihat gemintang ditengah sunyi malam dua hari sebelum lebaran

aku melihat gemintang dan aku jatuh cinta padanya

(jogja, 2 hari sebelum lebaran 2009)

Senin, 17 Agustus 2009

timpang dan hampir jatuh

tertatih-tatih
jalanan kian menanjak, terjal, dan membikin putus asa
padahal ini baru awal
awal dari sesuatu yang pada akhirnya akan tereduksi menjadi memori

jagad ternyata begitu luas
samudera begitu dalam
dan hidup begitu membingungkan, penuh jebakan, penuh tipu muslihat
tetapi hidup juga surga, sebuah ladang tak bertepi yang menawarkan banyak solusi

jelaga berubah tembaga
putih berubah hitam
tetapi semua itu masih absurd bagiku
karena aku masih tetap si abu-abu

aku ingin lepas dari diri
ingin lepas dari waktu
ingin lepas dari kungkungan wilayah
dan mengambang, menyusuri tanpa ingin pernah berpikir

baru kejejaki persimpangan jalan itu
tapi belum apa-apa aku sudah sangat lelah
harus apa? harus bagaimana memilin asa perlahan-lahan agar tidak hancur?
harus apa? harus bagaimana merajut harap agar jiwa tetap hidup dan diri sampai pada akhir, sebuah oase ketidakpastian?

Rabu, 03 Juni 2009

Kritik Seni Estetika


Jakarta Biennale Community College Karya Khairuddin Hori: Partisipasi Publik dalam Aspek Ekstra Estetik

Oleh: Fitri Kumalasari, 0706292302



Saturday, January 31, 2009

You are invited!




Dear Friends,

I have been invited to share a work for Jakarta Biennale 2009 which is scheduled to take place from 06 - 27 February 2009 at the Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia (amongst its other venues, check out www.jakartabiennale.com).

With funds allocated as my artists' per diem, I have decided to set up a 'college' of sorts, one that I am calling 'Jakarta Biennale Community College'. It is an open school by all, for all.

I would like to call upon any of you who might be interested in sharing some knowledge with the public to come forward and contribute to the college's curriculum.

Participation and facilitation of workshop/lecture/lesson/tutorial/seminar e.t.c is not limited to any specific audiences or subjects. You might want to share some secret knowledge of astronomy, maybe a traditional grandmother's recipe, a conspiracy theory, perhaps a secret martial arts system or even, a technological breakthrough. Each session provides a modest allowance of 100,000 Indonesian Rupiah for its facilitator/s.

Should you be interested in spreading some love at the Jakarta Biennale Community College, please communicate your intentions to Miss Diah Sekarwidhi through an email to JktBiennaleCommunityCollege@gmail.com.

Your participation is our treasure. :)



cheers,
Khai



Dan saya memenuhi undangannya pada Jumat, 20 Februari 2009 untuk melihat secara langsung karya seniman asal Singapura ini disamping tentu untuk melihat-lihat karya seni lain yang ditampilkan pada Jakarta Biennale XIII 2009 di Galeri Nasional, Jakarta.

Karya Khairuddin Hori yang bertema "Jakarta Biennale Community College" merupakan sebuah ruang di dalam Galeri Nasional yang terletak disudut kanan, berpencahayaan temaram dan difungsikan sebagai sebuah ruang kelas lengkap dengan beberapa buah meja-tulis, sebuah whiteboard, serta tak lupa spidol dan penghapus sbagai alat pendukung pengajaran. Begitu sederhana dan biasa, tanpa ornamen hias yang menghadirkan kesan mencolok. Benar-benar seperti ruang kelas yang sering kita jumpai di sekolah-sekolah ataupun di perguruan tinggi. Tetapi bukan sekedar kesan biasa dan sangat keseharian yang membuat saya tertarik dengan karya Hori ini, letak kekuatan seninya adalah pada aspek ekstra estetik yaitu partisipasi publik.

Ketertarikan saya terhadap karya Khairuddin Hori bermula ketika pada serangkaian acara Jakarta Biennale XIII 2009, Hori menjadi pembicara pada Artis Talk II di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia bersama dengan Eko Nugroho, Senin 9 Februari 2009. Dalam presentasinya, Hori memutar sejumlah video mengenai karya-karyanya yang berupa performance art, seni teater, dan lain sebagainya. Dan yang menarik hampir sebagian karyanya melibatkan partisipasi publik-entah meminta bantuan seorang sales promotion girl untuk ikut dalam pertunjukkan teaternya maupun mempersilahkan orang lain mengisi karyanya dengan beragam hal seperti puisi, surat cinta, dan lain-lain dalam Wunderspaze-Hori di Singapura.


Partisipasi Publik
Ketika sebuah karya hadir dihadapan publik, karya tersebut tidak lagi sekedar milik si pencipta tetapi juga menjadi milik masyarakat dengan pemaknaannya yang beragam. Seni hadir tidak lagi dengan satu interpretasi tunggal si pencipta, tetapi bagai sebuah ruang kosong yang bebas untuk dieksplorasi siapapun. Dan saya menangkap itu semua secara unik dari Jakarta Biennale Community College karya Khairuddin Hori.

Sebagai sebuah karya seni yang sekedar ditampilkan di ruang publik, Jakarta Biennale Community College rupanya bukanlah sebuah hasil akhir dari karya Hori. Jakarta Biennale Community College lebih kepada karya pasif yang belum selesai dan untuk mengaktifkan atau menyempurnakan karya tersebut, Hori mengundang partisipasi publik untuk mengisi ruang kelas tersebut dengan diskusi, pengajaran, kelas hobi dan ketrampilan, sampai bedah buku dengan tema bebas mulai dari ekonomi, politik, budaya, sosial, ataupun keseharian. Siapapun boleh berpastisipasi didalamnya mulai dari mahasiswa, karyawan kantor, ibu rumah tangga, sampai anak-anak.

Partisipasi publik yang dihadirkan Hori untuk ikut berkarya merupakan hal yang unik dan cerdas dalam penginterpretasian suatu karya. Hori seolah menciptakan sebuah ruang, framework, bingkai yang belum terisi dan akan terisi lewat partisipasi publik dengan beragam pemaknaannya. Ruang kelas yang diisi dengan kelas diskusi politik tentu menghadirkan gambaran serta pemaknaan yang berbeda dengan ruang kelas yang diisi dengan kelas ketrampilan anak-anak. Keberagaman yang dimaknai secara berbeda oleh beragam partisipan membuat karyanya semakin hidup dan kaya. Hori membangun sebuah jembatan yang menghubungkan seniman dengan masyarakat luas lewat partisipasi publik dalam mengisi suatu karya secara bebas. Tidak hanya itu, karya yang melibatkan partisipasi publik sebagai bagian dari karya itu sendiri merupakan sesuatu yang menarik dan membangkitkan optimisme masyarakat luas bahwa siapa pun bisa berkesenian menurut cara mereka sendiri.

Hori dan karyanya mencoba membumikan seni yang seringkali dianggap elitis, sulit dipahami, dan mahal oleh banyak orang dengan mengembalikan makna seni bagi kehidupan kita. Jika bagi sekumpulan ibu-ibu seni dipahami sebatas bagaimana membuat masakan yang enak, maka Hori lewat Jakarta Biennale Community College memberikan tempat untuk itu. Jika bagi sekelompok mahasiswa seni berkaitan dengan politik, maka Hori pun memberikan tempat untuk itu. Bahwa hal-hal biasa dan sangat keseharian yang terlihatr dari Jakarta Biennale Community College memberikan "rasa" tersendiri bagi pemaknaan suatu karya.


Totalitas dalam Proses Menjadi
Melihat dan menikmati Jakarta Biennale Community College mengingatkan saya kepada Hegel dan dialektikanya yang memunculkan totalitariasme dalam proses menjadi. Hori yang menciptakan ruang kelas adalah sebuah tesis. Ruang kelas yang ada bukanlah hasil akhir dari karya Hori. Kemudian ia mengundang partisipasi publik untuk mengisi ruang kelas tersebut dengan beragam kegiatan sesuai dengan keinginan partisipan adalah tesis tambahan-saya menolak menyebutnya antitesis, karena tidak perlu ada yang dibantah dari tesis pertama-yang memberikan pemaknaan baru bagi karya tersebut. Dan dari sini muncul sintesis bahwa Jakarta Biennale Community College adalah keseluruhan, totalitas dari penggabungan ruang kelas ciptaan Hori dengan partisipasi publik dalam mengisi ruang kelas tersebut. Totalitas yang hadir bukan suatu akhir dari pemaknaan karya Hori karena dengan tema kelas yang berubah sesuai dengan siapa partisipan yang mengisi tentu terus menjadi proses yang tak selesai begitu saja hanya dengan satu makna. Pemaknaan yang hadir tidak selalu sama karena tesis tambahan yang ada berubah dan sehingga totalitas yang hadir terus dalam proses menjadi.

Pada akhirnya, Jakarta Biennale Community College bisa dijadikan sebuah sanpel untuk melihat praktek artistik yang berangkat dari kesadaran tentang pentingnya relasi sosial. Ruang kelas itu akan memperlihatkan kehadirannya sebagai sebuah karya seni, justru ketika ia diokupasi menjadi ruang interaksi dan partisipasi yang nyata.1

Dan saya menyetujuinya.



Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam ruang kelas Jakarta Biennale Community College. (sumber:www.jakartabiennale09.blogspot.com)