Ada secercah bahagia diraut banyak orang
Tersimpan berjuta harap pada hidup yang kian mendesak tak tentu arah
Tetapi seraut senyum itu masih ada, tersimpan apik, tak rusak, tak lapuk dimakan pengalaman
Manusia adalah keunikan yang beraneka dan itu terlihat dari pilihan-pilihannya
Berbeda dan beragam tak dapat di tolak apalagi disangkal
Ia hadir begitu saja dan kita tidak pernah meminta sebelumnya
Selembar kartu undangan pernikahan menyiratkan sejumput bahagia yang terkonsepkan dan berhias harapan-harapan indah
Senang melihat wujud bahagia itu pada wajah-wajah yang tak kalah dari hidup yang terus menghimpit, atau mungkin tak terasa?
Tak apa, asal sejumput bahagia itu tersemai bagi mereka yang melihat dan merasakannya
Hidup tak selalu harus berkisar dengan kisah tragik ala Kierkegaard dan para pengikutnya
Hidup bagi sebagian orang adalah permasalahan mendasar dan sederhana
Hidup adalah sebuah tur yang harus dijalani begitu saja tanpa perlu bertanya kenapa, apa, kapan, atau bagaimana
Hidup sederhana dan tetap bahagia
Untuk mencapai pemahaman diri tak perlu sampai belajar filsafat secara serius, toh hidup perlahan mengajarkan itu
Untuk yang berbahagia, tersenyum, dan tertawa, nikmatilah...
Sebarkan benih itu pada sekitar sehingga padang tak lagi gersang dan jiwa tak lagi kering
Selamat untuk kebahagiaan yang terus tersemai
Sabtu, 23 Mei 2009
A(a)-K(k)-U(u)
Aku kehilangan aku di dalam AKU
Aku lemah, Aku hina, Aku bangsat
Aku anjing, Aku monyet, Aku,...
Aku tidak kenal aku lagi
Aku bukan AKU
Aku rendah!
Ya, memang Aku rendah sekali
aku AKU telah hilang entah kemana
Aku aku itu memang tak pernah ada sebelumnya
Tetapi AKU merasa sakit karena aku
Seolah-olah aku hilang atau dicuri entah bagaimana
Sakit sekali. SAKIT SEKALI!!!
Aku ingin aku kembali pada AKU agar AKU utuh kembali
Tapi bagaimana caranya?
Aku tidak tahu siapa Aku
Aku tidak mengerti tentang Aku
aku pasti bisa memahami Aku
Pasti bisa, karena aku adalah inti dari kesempurnaan AKU
Tapi aku telah hilang hingga Aku merasakan ada yang sungguh sakit amat dalam
aku, kemana aku?
Aku hampir sekarat
Dia, mungkin Dia tahu dimana aku?
Aku lemah, Aku hina, Aku bangsat
Aku anjing, Aku monyet, Aku,...
Aku tidak kenal aku lagi
Aku bukan AKU
Aku rendah!
Ya, memang Aku rendah sekali
aku AKU telah hilang entah kemana
Aku aku itu memang tak pernah ada sebelumnya
Tetapi AKU merasa sakit karena aku
Seolah-olah aku hilang atau dicuri entah bagaimana
Sakit sekali. SAKIT SEKALI!!!
Aku ingin aku kembali pada AKU agar AKU utuh kembali
Tapi bagaimana caranya?
Aku tidak tahu siapa Aku
Aku tidak mengerti tentang Aku
aku pasti bisa memahami Aku
Pasti bisa, karena aku adalah inti dari kesempurnaan AKU
Tapi aku telah hilang hingga Aku merasakan ada yang sungguh sakit amat dalam
aku, kemana aku?
Aku hampir sekarat
Dia, mungkin Dia tahu dimana aku?
Kamis, 07 Mei 2009
Teman I
Jembatan itu belum tercipta dan kita saling menyalahkan
Aku tentu tak ingin menyalahkan diriku sendiri dan aku merasa benar
Dan kukira kau pun begitu
Terlalu banyak emosi negatif
Aku hanya ingin mendengar apa yang ingin kudengar
Dan kukira kau pun begitu, teman
Tapi aku salah, aku sadari itu
Banyak syak wasangka mengalir mempengaruhi diriku
Dan aku merasa aku benar untuk beberapa alasan
Tetapi caraku salah
Aku tak segera menyelesaikannya, hanya membiarkannya
Dan aku semakin sakit hati
Tetapi hari ini aku mulai menguak kembali struktur kesadaranku
dan kujabarkan kini bahwa aku terlalu banyak berpikir tanpa memastikan
padamu apa yang sebenarnya kita alami
karena jembatan diantara kita tak tersusun dengan baik, karena telinga ini ditutup dan kita tidak saling mendengar satu sama lain
Atas semua hal yang terjadi, aku minta maaf, teman
Aku tentu tak ingin menyalahkan diriku sendiri dan aku merasa benar
Dan kukira kau pun begitu
Terlalu banyak emosi negatif
Aku hanya ingin mendengar apa yang ingin kudengar
Dan kukira kau pun begitu, teman
Tapi aku salah, aku sadari itu
Banyak syak wasangka mengalir mempengaruhi diriku
Dan aku merasa aku benar untuk beberapa alasan
Tetapi caraku salah
Aku tak segera menyelesaikannya, hanya membiarkannya
Dan aku semakin sakit hati
Tetapi hari ini aku mulai menguak kembali struktur kesadaranku
dan kujabarkan kini bahwa aku terlalu banyak berpikir tanpa memastikan
padamu apa yang sebenarnya kita alami
karena jembatan diantara kita tak tersusun dengan baik, karena telinga ini ditutup dan kita tidak saling mendengar satu sama lain
Atas semua hal yang terjadi, aku minta maaf, teman
Rabu, 22 April 2009
Ada dan Pengada
Aku ada di tiitik ini .
Tapi pengadaku menyebar sejauh relasi yang kulakukan dengan dunia sekitar
Aku bisa saja seorang fitri, tapi fitri itu bisa juga menjadi seorang anak dari orang tuanya, bisa juga menjadi seorang mahasiswi filsafat 2007, bisa juga menjadi seorang kakak dari Imbang, bisa juga menjadi salah seorang member filsafat dan psikologi transformatif di group yahoo!,,,
Fitri bisa menjadi siapa saja sejauh orang lain mengenalnya
Tetapi pertanyaannya adalah apakah fitri itu tahu siapa dirinya? Dirinya dalam arti "ada" tanpa "pengada"?
Jika fitri dipahami "ada" tanpa "pengada", apakah dia bisa hilang makna? Hilang identitas? Hilang ke-diri-annya?
Menjadi fitri di titik ini tidak jelas betul dirinya karena ia tidak menjadi "pengada" sekaligus. Dan saya bertanya pada diri saya sendiri,"Hendak seperti apakah saya tanpa "pengada" saya?"
Tapi kembali lagi pada "ada" fitri
Siapa dia dan hendak diartikan apa dia?
Terserah sajalah...
Tapi pengadaku menyebar sejauh relasi yang kulakukan dengan dunia sekitar
Aku bisa saja seorang fitri, tapi fitri itu bisa juga menjadi seorang anak dari orang tuanya, bisa juga menjadi seorang mahasiswi filsafat 2007, bisa juga menjadi seorang kakak dari Imbang, bisa juga menjadi salah seorang member filsafat dan psikologi transformatif di group yahoo!,,,
Fitri bisa menjadi siapa saja sejauh orang lain mengenalnya
Tetapi pertanyaannya adalah apakah fitri itu tahu siapa dirinya? Dirinya dalam arti "ada" tanpa "pengada"?
Jika fitri dipahami "ada" tanpa "pengada", apakah dia bisa hilang makna? Hilang identitas? Hilang ke-diri-annya?
Menjadi fitri di titik ini tidak jelas betul dirinya karena ia tidak menjadi "pengada" sekaligus. Dan saya bertanya pada diri saya sendiri,"Hendak seperti apakah saya tanpa "pengada" saya?"
Tapi kembali lagi pada "ada" fitri
Siapa dia dan hendak diartikan apa dia?
Terserah sajalah...
Rabu, 01 April 2009
Aku dalam sepotong Makrocosmos kehidupan
Aku adalah manusia. Siapa yang bisa menyangkalnya? Walaupun sejuta manusia lainnya bilang aku adalah anjing, aku adalah monyet, itu tidak akan merubah sustansiku sebagai seorang manusia. Terlebih manusia yang hidup.
Tetapi apa itu manusia? Segumpal daging dan darah, begitu? Tidak ada istimewanya? Manusia lain mencoba menafsirkan apa itu menjadi manusia. Aristoteles mengatakan manusia adalah binatang yang berakal budi dan seluruh manusia mengamini pernyataan tersebut. Tetapi apa yang istimewa dari menjadi manusia? Terlalu banyak hasrat, kataku. Semua proposisi yang mengagung-agungkan manusia hanyalah pembenaran bagi eksistensi manusia itu sendiri, tetapi kebenaran secara objektif itu sendiri tak melekat pada manusia yang ternyata hanyalah setitik tanda, sepotong bagian dari alam semesta. Kita tidak lebih mulia ataupun lebih hebat dari entitas lainnya.
Kita. Jika menyebut kata ganti orang tersebut apa yang terlintas dipikiranku adalah kata ganti tak sempurna. Kita telah kehilangan objek dan hampir kehilangan makna juga di era posmodern ini. Kita tidak lagi mengacu pada saya dan kamu bersama-sama dalam sesuatu. Kita kini hanyalah sebuah kata ganti metafisik. Kita mungkin masih dapat mewakili saya, tetapi belum tentu dengan kamu, karena saya tidak dapat memastikan kamu apakah kamu benar-benar sepaham dengan saya baik pikiran maupun tindakan. Kita tak lagi disatukan, kita adalah individu yang berlainan sekarang.
Salah satu keunikan manusia adalah ia ingin bahagia. Tetapi apa itu bahagia? Kenapa kebahagiaan menjadi penting bagi manusia?
Semua manusia ingin bahagia. Tetapi apa ukuran kebahagiaan itu? Buatku, bahagia itu tidak terbatas pada kuantitas memori ataupun kesenangan-kesenangan semu yang bisa menguap begitu saja. Kebahagiaan lebih dari pada semua itu. Kebahagiaan adalah sejauh manusia memberi makna pada hidupnya dan ia mengapresiasikannya, ia menikmatinya. Kebahagiaan adalah hal metafisik yang paling rasional. Ia tak berwujud tetapi ia ada karena manusia merasakannya. Tetapi apa itu merasakan kebahagiaan? Adakah yang bisa menjabarkan lewat bahasa? Aku keterbatasan bahasa! Bahasa mereduksi perasaan serta pikiran kita untuk mengemukakan sesuatu kepada manusia lain.
Dan aku melihat sekelilingku orang-orang tersenyum karena mendapat telepon dari orang terkasih, aku melihat seraut kedamaian di wajah seorang tua yang mendapat duduk di kereta ekonomi saat tidak begitu penuh penumpang, aku melihat tawa seorang anak bermain sendiri menjemput imajinasi didalam diri dan mulai meng-konstruksi jiwa, aku melihat canda diwajah mama dan adikku saat santai bersama, aku melihat senyum malu-malu dari seorang cacat yang tak lagi memiliki kedua kaki di stasiun Tebet sambil ia terkadang menjajakan koran dan melihatnya membuatku rindu dengan ayahku, aku melihat senyum diwajah temanku saat kami bercanda di payung kantin kampus karena lelucon lucu, aku melihat secercah wajah ceria saat seorang gadis mendapatkan baju yang telah lama diinginkannya, aku melihat senyuman sekelompok gadis remaja yang asyik membahas trend fashion di majalah, aku melihat nenek tua disampingku saat perjalan menuju kampus bertanya denganku ramah aku hendak turun dimana tetapi wajahnya kuyu dan pakaiannya lusuh, aku melihat seorang penjaja koran cilik di kampusku dan tersenyum menyapaku.
Tetapi apakah itu semua wujud dari perasaan bahagia? Senang? Manusia adalah makhluk yang begitu unik dan beragam. Mereka tersenyum dan tertawa merupakan partikel kecil dari apa yang mereka rasakan. Dan menurutku itu semua sudah lebih dari cukup ketimbang mengejar sesuatu yang lebih abstrak dan naif seperti kekuasaan, harta,jabatan, dan lain sebagainya. Tetapi manusia tentu tidak cukup puas hanya dengan hal-hal kecil. Aku, kamu, dia, dan mereka tentu punya keinginan, hasrat-hasrat kecil semacam itu. Tetapi apakah segala keinginan atau tujuan-tujuan dalam hidup adalah kebahagiaan yang sungguh-sungguh dicari manusia? Mengapa tidak dinikmati saja keseluruhan proses yang mengantarkan saya dan kamu mencapai tujuan? Mengapa kita tak berhenti sejenak dan melihat sekeliling bahwa ada banyak hal yang jauh lebih indah daripada sekedar obsesi? Bahwa terkadang tersenyum walau karena hal remeh asal itu tulus justru lebih menyejukkan jiwa dan membawa suasana riang? Bahwa seringkali kita tak sadar bahwa kita adalah bagian dari makrokosmos, bagian dari dunia yang fana ini?
Tetapi apa itu manusia? Segumpal daging dan darah, begitu? Tidak ada istimewanya? Manusia lain mencoba menafsirkan apa itu menjadi manusia. Aristoteles mengatakan manusia adalah binatang yang berakal budi dan seluruh manusia mengamini pernyataan tersebut. Tetapi apa yang istimewa dari menjadi manusia? Terlalu banyak hasrat, kataku. Semua proposisi yang mengagung-agungkan manusia hanyalah pembenaran bagi eksistensi manusia itu sendiri, tetapi kebenaran secara objektif itu sendiri tak melekat pada manusia yang ternyata hanyalah setitik tanda, sepotong bagian dari alam semesta. Kita tidak lebih mulia ataupun lebih hebat dari entitas lainnya.
Kita. Jika menyebut kata ganti orang tersebut apa yang terlintas dipikiranku adalah kata ganti tak sempurna. Kita telah kehilangan objek dan hampir kehilangan makna juga di era posmodern ini. Kita tidak lagi mengacu pada saya dan kamu bersama-sama dalam sesuatu. Kita kini hanyalah sebuah kata ganti metafisik. Kita mungkin masih dapat mewakili saya, tetapi belum tentu dengan kamu, karena saya tidak dapat memastikan kamu apakah kamu benar-benar sepaham dengan saya baik pikiran maupun tindakan. Kita tak lagi disatukan, kita adalah individu yang berlainan sekarang.
Salah satu keunikan manusia adalah ia ingin bahagia. Tetapi apa itu bahagia? Kenapa kebahagiaan menjadi penting bagi manusia?
Semua manusia ingin bahagia. Tetapi apa ukuran kebahagiaan itu? Buatku, bahagia itu tidak terbatas pada kuantitas memori ataupun kesenangan-kesenangan semu yang bisa menguap begitu saja. Kebahagiaan lebih dari pada semua itu. Kebahagiaan adalah sejauh manusia memberi makna pada hidupnya dan ia mengapresiasikannya, ia menikmatinya. Kebahagiaan adalah hal metafisik yang paling rasional. Ia tak berwujud tetapi ia ada karena manusia merasakannya. Tetapi apa itu merasakan kebahagiaan? Adakah yang bisa menjabarkan lewat bahasa? Aku keterbatasan bahasa! Bahasa mereduksi perasaan serta pikiran kita untuk mengemukakan sesuatu kepada manusia lain.
Dan aku melihat sekelilingku orang-orang tersenyum karena mendapat telepon dari orang terkasih, aku melihat seraut kedamaian di wajah seorang tua yang mendapat duduk di kereta ekonomi saat tidak begitu penuh penumpang, aku melihat tawa seorang anak bermain sendiri menjemput imajinasi didalam diri dan mulai meng-konstruksi jiwa, aku melihat canda diwajah mama dan adikku saat santai bersama, aku melihat senyum malu-malu dari seorang cacat yang tak lagi memiliki kedua kaki di stasiun Tebet sambil ia terkadang menjajakan koran dan melihatnya membuatku rindu dengan ayahku, aku melihat senyum diwajah temanku saat kami bercanda di payung kantin kampus karena lelucon lucu, aku melihat secercah wajah ceria saat seorang gadis mendapatkan baju yang telah lama diinginkannya, aku melihat senyuman sekelompok gadis remaja yang asyik membahas trend fashion di majalah, aku melihat nenek tua disampingku saat perjalan menuju kampus bertanya denganku ramah aku hendak turun dimana tetapi wajahnya kuyu dan pakaiannya lusuh, aku melihat seorang penjaja koran cilik di kampusku dan tersenyum menyapaku.
Tetapi apakah itu semua wujud dari perasaan bahagia? Senang? Manusia adalah makhluk yang begitu unik dan beragam. Mereka tersenyum dan tertawa merupakan partikel kecil dari apa yang mereka rasakan. Dan menurutku itu semua sudah lebih dari cukup ketimbang mengejar sesuatu yang lebih abstrak dan naif seperti kekuasaan, harta,jabatan, dan lain sebagainya. Tetapi manusia tentu tidak cukup puas hanya dengan hal-hal kecil. Aku, kamu, dia, dan mereka tentu punya keinginan, hasrat-hasrat kecil semacam itu. Tetapi apakah segala keinginan atau tujuan-tujuan dalam hidup adalah kebahagiaan yang sungguh-sungguh dicari manusia? Mengapa tidak dinikmati saja keseluruhan proses yang mengantarkan saya dan kamu mencapai tujuan? Mengapa kita tak berhenti sejenak dan melihat sekeliling bahwa ada banyak hal yang jauh lebih indah daripada sekedar obsesi? Bahwa terkadang tersenyum walau karena hal remeh asal itu tulus justru lebih menyejukkan jiwa dan membawa suasana riang? Bahwa seringkali kita tak sadar bahwa kita adalah bagian dari makrokosmos, bagian dari dunia yang fana ini?
Senin, 16 Maret 2009
Wiji Tukul: Seni dan Politik, Tidak Hanya Pelarangan Seni tetapi juga Penculikan Paksa
Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversive dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Siapa tak kenal puisi diatas? Tak pernah mendengar? Atau tak peduli? Wajar saja jika puisi diatas tidak terlalu menggairahkan bagi penikmat puisi jenis biasa-biasa saja, penikmat puisi tipe yang tidak begitu menyukai puisi digunakan untuk kepentingan menyalurkan aspirasi si penyair yang mewakili rakyat banyak kepada pemerintah yang memegang status quo dan risih dengan kritikan karena menganggap suatu puisi yang agung adalah puisi yang lahir dari ilham seolah-olah Tuhan menurunkan wahyu atau apalah kepada sang penyair untuk membuat karya. Solah-olah puisi yang baik itu seharusnya yang tidak menimbulkan konflik dan proses dalam membuat puisi diawali dengan consensus atau kesepahaman dengan pendapat John Locke mengenai konsep “tabula rasa”-nya. Bahwa penegasan seni termasuk puisi adalah kertas kosong yang belum ternoda tinta sama sekali. Atau puisi diatas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah teori kesusteraan seperti pendapat Tylor Coloridge(1772-1834) yang berpendapat bahwa puisi adalah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung? Tidak peduli dan tidak perlu dibahas lebih lanjut apakah puisi diatas sesuai dengan pendapat-pendapat kuno tentang bagaimana puisi yang baik itu seharusnya, karena yang lebih penting disini adalah bagaimana estetika itu menghadirkan pengalaman bagi tiap subjek yang berbeda. Walau bagaimanapun itu tetaplah puisi!
Karya seni termasuk puisi adalah bentuk pengejawantahan ide gagasan seseorang dalam menangkap realitas sekelilingnya kemudian dikontemplasikan dengan imajinasi yang kemudian dilahirkan kembali menjadi sebuah karya yang berbeda jauh dengan proses pembuatan karya yang diawali dengan menangkap realitas tadi tetapi sesungguhnya maknanya tidak beda jauh dengan realitas yang ditangkap, hanya saja diolah dengan ketertarikan dan perspektif yang berbeda oleh seseorang yang membuat karya tersebut. Saya tidak setuju dengan anggapan bahwa karya seni dan proses yang mengiringinya terlepas dari realitas fisik dan dianggap bahwa ide gagasan itu muncul tiba-tiba serta mengabaikan kemampuan pancaindera menangkap realitas disekeliling seniman. Tidak ada manusia yang hidup dalam kekosongan dimana ia tidak berkaitan dengan dunia sekitarnya. Ada proses historis yang mengiringi kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk historis. Sehingga kehidupan manusia seperti cara manusia memikirkan serta mengambil keputusan tidak bisa lepas dari pengalaman yang mengiringinya. Artinya manusia lewat pengalamannya adalah makhluk yang tidak kosong, ide gagasannya juga dipengaruhi oleh pengalamannya. Seniman juga tidak terlepas dari historisitas yang menyertainya sehingga mutlak ide gagasan yang hendak disampaikan sang seniman tidak datanga begitu saja dari Tuhan dan lepas dari keterikatan historis maupun pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.
Bertolak dari apa yang diyakini oleh Plato mengenai konsep “dunia ide”-nya, bahwa realitas yang sesungguhnya berada pada tataran ide, berada diluar diri manusia. Bahwa yang ideal adalah yang ada di dunia ide dan hanya ada satu yang paling baik, tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bahwa seniman seolah-olah menangkap yang ideal itu lewat tangan Tuhan dan melepaskan hubungan dengan realitas dunia. Padahal Plato sendiri menganggap bahwa apa yang ada di dunia fisik adalah tiruan dari dunia ide-mimesis. Plato juga tidak serta merta merendahkan kemapuan indrawi dalam membentuk suatu pengetahuan baru. Setidaknya Plato menganggap bahwa pengetahuan yang didapat dari realitas fisik adalah doxa-perspektif saja. Bahkan lebih jauh Plato memandang seniman sebagai peniru dari tiruan.
Kembali kepada permasalaha puisi diatas. Puisi tersebut diciptakan oleh Wiji Tukul, seorang penyair sekaligus aktivis buruh. Wiji Tukul memang terkenal dengan karya-karyanya yang revolusioner, menyuarakan aspirasi rakyat kecil, mengritik pemerintah dengan kata-kata yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Puisinya adalah jenis puisi perjuangan. Hal tersebut bisa dipahami karena latar belakang Tukul yang hidup ditengah-tengah penderitaan rakyat banyak. Ia hidup dilingkungan yang dihuni para buruh pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan lain sebagainya. Sehingga dalam proses mencipta puisi Tukul begitu dipengaruhi oleh suasana kehidupan rakyat kecil disekitar rumahnya. Puisi-puisi yang dibuat oleh Tukul berkisah tentang kehidupan rakyat kecil, pemerintahan otoriter yang tidak mempedulikan kehidupan rakyatnya, penindasan oleh kaum kapitalis, dan berbagai bentuk realitas pedih tentang nasib rakyat kecil. Dalam salah satu bait puisinya, Tukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto.
“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemanyam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!”
Selain bergelut dengan puisi-puisi yang berbau pergolakan rakyat kecil, Tukul juga bertekad menyadarkan orang-orang yang ada disekitarnya dengan penindasan oleh para penguasa. Hal ini dimulai Tukul dari lingkungan tempat tinggalnya. Ia mendirikan sanggar Suka Banjir. Sanggar ini menampung anak-anak sekitar rumahnya dan berkegiatan belajar menggambar, mengarang, membaca, dan berteater di sana. Tukul mengajarkan apa yang tidak diajarkan di sekolah yaitu mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman mereka sehari-hari. Tukul menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak kampong ini agar tak gentar menyatakan kebenaran(Wiji Tukul dan Orang Hilang oleh Linda Cristanty, Mereka yang Hilang dan Mereka yang Dihilangkan diterbitkan oleh IKOHI,2004). Bagi Tukul seni adalah terlibat langsung, menyatu dengan dinamika masyarakat dan bukan imajinasi semata.
Puisi-puisi Tukul memang berseberangan dengan pemerintah Orde Baru yang otoriter. Puisi-puisinya dibuat untuk menyadarkan kesadaran rakyat kecil untk melawan tirani. Hal ini tergambar jelas lewat salah satu puisinya yang berjudul Bunga dan Tembok,
“Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dengan keyakinan kami
Dimanapun tirani harus tumbang!
Hal yang terjadi selanjutnya bukan hanya sekedar pelarangan dalam berkesenian, pelarangan dalam penciptaan karya-dalam hal ini puisi-tetapi lebih dari itu, puisi-puisi Tukul yang dianggap pemerintahan orde baru subversive dan mengganggu tataran kehidupan bermasyarakat karena dapat memicu perlawanan rakyat, mengakibatkan dirinya menjadi salah satu korban penculikan di tahun 1997-1998 yang dilakukan oleh Negara. Hal ini dilakukan karena konsekuensinya atas aktivitas politiknya yang menggerakkan masa buruh dibawah Partai Rakyat Demokratik(PRD) dan jalan berkesenian yang ditempuhnya secara frontal mengkritik pemerintah. Hingga detik ini tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Wiji Tukul. Ia masih dinyatakan hilang walaupun berbagai pihak telah berusaha mencari tahu keberadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal.
Saya memandang dan menganggap Wiji Tukul tidak hanya sebagai seorang aktivis yang vocal menyuarakan suara penderitaan rakyat kecil tetapi juga sebagai seorang penyair, seniman yang menempatkan seni tidak sebagai sesuatu yang dianggap elit dan mahal. Tukul lewat karya-karyanya telah membumikan seni itu sendiri karena menempatkan seni sebagai sesuatu yang hadir disekeliling kehidupan kita. Bahwa seni bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari aspek lainnya seperti politik, ekonomi, dan agama melainkan mengawinkan kembali seni dengan kehidupan sehari-hari manusia. Seni bukan sekedar bagaimana menciptakan keindahan lewat hal-hal yang indah saja tetapi Tukul merubah konsepsi tersebut dengan menampilkan keindahan sebagai sebuah ironi tersendiri dari berbagai kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan dalam puisi-puisinya. Dalam salah satu teori estetika Aristoteles, karya-karya Tukul dapat dikategorikan sebagai tragedy sekaligus komedi karena penyampaiannya yang menarik dan memikat. Bahasa yang digunakan Tukul dalam puisinya begitu jujur dan lugas namun dirangkai menarik sehingga ide gagasan yang diutarakannya membentuk bait-bait yang hidup dan pas membentuk komedi tersendiri tentang permasalahan bangsa yang dilihatnya.
Pendapat ini diperkuat oleh Herbert Marcuse, salah seorang filsuf yang menyatakan bahwa estetika adalah menjadi sebuah jalan keluar untuk mengatasi krisis masyarakat satu dimensi. Apa jadinya jiwa sebuah puisi tidak bisa menangkap dan kemudian menyampaikan pesan-pesan tersebut walaupun disatu sisi harus kita akui sebuah puisi yang terlahir lewat cara dan peristiwa social cenderung naïf lewat kesan individual penyairnya. Namun secara eksplisit kesan-kesan tersebut menjadi tampak lebih nyata, karena dunia bentuk dalam pengertian dunia ruang dan waktu berpadu dengan dunia ide atau gagasan yang dimiliki oleh masing-masing penyair menjadi titik kunci keberhasilan sebuah puisi tentang penyampaian estetik yang dimaksud tanpa harus mencurigai adanya kesan-kesan individual.
Sebuah puisi yang dikatakan berhasil jika apa yang bisa disampaikan dalam menangkap dunia ide disampaikan pula sebagai suguhan kreatif dengan bentuk-bentuk yang lebih menarik. Sehingga sebuah puisi tidak saja bicara tentang peristiwa bahasa semata melainkan juga banyak sekali yang bersifat spirit dan menjadi roh bagi puisi termasuk aspek-aspek psikologis penyairnya.(www.tabloid-info.sumenep.go.id)
tulisan ini dibuat untuk mata kuliah manusia dan kesenian indonesia, program studi ilmu filsafat, FIB UI
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversive dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Siapa tak kenal puisi diatas? Tak pernah mendengar? Atau tak peduli? Wajar saja jika puisi diatas tidak terlalu menggairahkan bagi penikmat puisi jenis biasa-biasa saja, penikmat puisi tipe yang tidak begitu menyukai puisi digunakan untuk kepentingan menyalurkan aspirasi si penyair yang mewakili rakyat banyak kepada pemerintah yang memegang status quo dan risih dengan kritikan karena menganggap suatu puisi yang agung adalah puisi yang lahir dari ilham seolah-olah Tuhan menurunkan wahyu atau apalah kepada sang penyair untuk membuat karya. Solah-olah puisi yang baik itu seharusnya yang tidak menimbulkan konflik dan proses dalam membuat puisi diawali dengan consensus atau kesepahaman dengan pendapat John Locke mengenai konsep “tabula rasa”-nya. Bahwa penegasan seni termasuk puisi adalah kertas kosong yang belum ternoda tinta sama sekali. Atau puisi diatas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah teori kesusteraan seperti pendapat Tylor Coloridge(1772-1834) yang berpendapat bahwa puisi adalah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung? Tidak peduli dan tidak perlu dibahas lebih lanjut apakah puisi diatas sesuai dengan pendapat-pendapat kuno tentang bagaimana puisi yang baik itu seharusnya, karena yang lebih penting disini adalah bagaimana estetika itu menghadirkan pengalaman bagi tiap subjek yang berbeda. Walau bagaimanapun itu tetaplah puisi!
Karya seni termasuk puisi adalah bentuk pengejawantahan ide gagasan seseorang dalam menangkap realitas sekelilingnya kemudian dikontemplasikan dengan imajinasi yang kemudian dilahirkan kembali menjadi sebuah karya yang berbeda jauh dengan proses pembuatan karya yang diawali dengan menangkap realitas tadi tetapi sesungguhnya maknanya tidak beda jauh dengan realitas yang ditangkap, hanya saja diolah dengan ketertarikan dan perspektif yang berbeda oleh seseorang yang membuat karya tersebut. Saya tidak setuju dengan anggapan bahwa karya seni dan proses yang mengiringinya terlepas dari realitas fisik dan dianggap bahwa ide gagasan itu muncul tiba-tiba serta mengabaikan kemampuan pancaindera menangkap realitas disekeliling seniman. Tidak ada manusia yang hidup dalam kekosongan dimana ia tidak berkaitan dengan dunia sekitarnya. Ada proses historis yang mengiringi kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk historis. Sehingga kehidupan manusia seperti cara manusia memikirkan serta mengambil keputusan tidak bisa lepas dari pengalaman yang mengiringinya. Artinya manusia lewat pengalamannya adalah makhluk yang tidak kosong, ide gagasannya juga dipengaruhi oleh pengalamannya. Seniman juga tidak terlepas dari historisitas yang menyertainya sehingga mutlak ide gagasan yang hendak disampaikan sang seniman tidak datanga begitu saja dari Tuhan dan lepas dari keterikatan historis maupun pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.
Bertolak dari apa yang diyakini oleh Plato mengenai konsep “dunia ide”-nya, bahwa realitas yang sesungguhnya berada pada tataran ide, berada diluar diri manusia. Bahwa yang ideal adalah yang ada di dunia ide dan hanya ada satu yang paling baik, tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bahwa seniman seolah-olah menangkap yang ideal itu lewat tangan Tuhan dan melepaskan hubungan dengan realitas dunia. Padahal Plato sendiri menganggap bahwa apa yang ada di dunia fisik adalah tiruan dari dunia ide-mimesis. Plato juga tidak serta merta merendahkan kemapuan indrawi dalam membentuk suatu pengetahuan baru. Setidaknya Plato menganggap bahwa pengetahuan yang didapat dari realitas fisik adalah doxa-perspektif saja. Bahkan lebih jauh Plato memandang seniman sebagai peniru dari tiruan.
Kembali kepada permasalaha puisi diatas. Puisi tersebut diciptakan oleh Wiji Tukul, seorang penyair sekaligus aktivis buruh. Wiji Tukul memang terkenal dengan karya-karyanya yang revolusioner, menyuarakan aspirasi rakyat kecil, mengritik pemerintah dengan kata-kata yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Puisinya adalah jenis puisi perjuangan. Hal tersebut bisa dipahami karena latar belakang Tukul yang hidup ditengah-tengah penderitaan rakyat banyak. Ia hidup dilingkungan yang dihuni para buruh pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan lain sebagainya. Sehingga dalam proses mencipta puisi Tukul begitu dipengaruhi oleh suasana kehidupan rakyat kecil disekitar rumahnya. Puisi-puisi yang dibuat oleh Tukul berkisah tentang kehidupan rakyat kecil, pemerintahan otoriter yang tidak mempedulikan kehidupan rakyatnya, penindasan oleh kaum kapitalis, dan berbagai bentuk realitas pedih tentang nasib rakyat kecil. Dalam salah satu bait puisinya, Tukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto.
“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemanyam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!”
Selain bergelut dengan puisi-puisi yang berbau pergolakan rakyat kecil, Tukul juga bertekad menyadarkan orang-orang yang ada disekitarnya dengan penindasan oleh para penguasa. Hal ini dimulai Tukul dari lingkungan tempat tinggalnya. Ia mendirikan sanggar Suka Banjir. Sanggar ini menampung anak-anak sekitar rumahnya dan berkegiatan belajar menggambar, mengarang, membaca, dan berteater di sana. Tukul mengajarkan apa yang tidak diajarkan di sekolah yaitu mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman mereka sehari-hari. Tukul menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak kampong ini agar tak gentar menyatakan kebenaran(Wiji Tukul dan Orang Hilang oleh Linda Cristanty, Mereka yang Hilang dan Mereka yang Dihilangkan diterbitkan oleh IKOHI,2004). Bagi Tukul seni adalah terlibat langsung, menyatu dengan dinamika masyarakat dan bukan imajinasi semata.
Puisi-puisi Tukul memang berseberangan dengan pemerintah Orde Baru yang otoriter. Puisi-puisinya dibuat untuk menyadarkan kesadaran rakyat kecil untk melawan tirani. Hal ini tergambar jelas lewat salah satu puisinya yang berjudul Bunga dan Tembok,
“Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dengan keyakinan kami
Dimanapun tirani harus tumbang!
Hal yang terjadi selanjutnya bukan hanya sekedar pelarangan dalam berkesenian, pelarangan dalam penciptaan karya-dalam hal ini puisi-tetapi lebih dari itu, puisi-puisi Tukul yang dianggap pemerintahan orde baru subversive dan mengganggu tataran kehidupan bermasyarakat karena dapat memicu perlawanan rakyat, mengakibatkan dirinya menjadi salah satu korban penculikan di tahun 1997-1998 yang dilakukan oleh Negara. Hal ini dilakukan karena konsekuensinya atas aktivitas politiknya yang menggerakkan masa buruh dibawah Partai Rakyat Demokratik(PRD) dan jalan berkesenian yang ditempuhnya secara frontal mengkritik pemerintah. Hingga detik ini tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Wiji Tukul. Ia masih dinyatakan hilang walaupun berbagai pihak telah berusaha mencari tahu keberadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal.
Saya memandang dan menganggap Wiji Tukul tidak hanya sebagai seorang aktivis yang vocal menyuarakan suara penderitaan rakyat kecil tetapi juga sebagai seorang penyair, seniman yang menempatkan seni tidak sebagai sesuatu yang dianggap elit dan mahal. Tukul lewat karya-karyanya telah membumikan seni itu sendiri karena menempatkan seni sebagai sesuatu yang hadir disekeliling kehidupan kita. Bahwa seni bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari aspek lainnya seperti politik, ekonomi, dan agama melainkan mengawinkan kembali seni dengan kehidupan sehari-hari manusia. Seni bukan sekedar bagaimana menciptakan keindahan lewat hal-hal yang indah saja tetapi Tukul merubah konsepsi tersebut dengan menampilkan keindahan sebagai sebuah ironi tersendiri dari berbagai kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan dalam puisi-puisinya. Dalam salah satu teori estetika Aristoteles, karya-karya Tukul dapat dikategorikan sebagai tragedy sekaligus komedi karena penyampaiannya yang menarik dan memikat. Bahasa yang digunakan Tukul dalam puisinya begitu jujur dan lugas namun dirangkai menarik sehingga ide gagasan yang diutarakannya membentuk bait-bait yang hidup dan pas membentuk komedi tersendiri tentang permasalahan bangsa yang dilihatnya.
Pendapat ini diperkuat oleh Herbert Marcuse, salah seorang filsuf yang menyatakan bahwa estetika adalah menjadi sebuah jalan keluar untuk mengatasi krisis masyarakat satu dimensi. Apa jadinya jiwa sebuah puisi tidak bisa menangkap dan kemudian menyampaikan pesan-pesan tersebut walaupun disatu sisi harus kita akui sebuah puisi yang terlahir lewat cara dan peristiwa social cenderung naïf lewat kesan individual penyairnya. Namun secara eksplisit kesan-kesan tersebut menjadi tampak lebih nyata, karena dunia bentuk dalam pengertian dunia ruang dan waktu berpadu dengan dunia ide atau gagasan yang dimiliki oleh masing-masing penyair menjadi titik kunci keberhasilan sebuah puisi tentang penyampaian estetik yang dimaksud tanpa harus mencurigai adanya kesan-kesan individual.
Sebuah puisi yang dikatakan berhasil jika apa yang bisa disampaikan dalam menangkap dunia ide disampaikan pula sebagai suguhan kreatif dengan bentuk-bentuk yang lebih menarik. Sehingga sebuah puisi tidak saja bicara tentang peristiwa bahasa semata melainkan juga banyak sekali yang bersifat spirit dan menjadi roh bagi puisi termasuk aspek-aspek psikologis penyairnya.(www.tabloid-info.sumenep.go.id)
tulisan ini dibuat untuk mata kuliah manusia dan kesenian indonesia, program studi ilmu filsafat, FIB UI
Senin, 29 Desember 2008
Aku dan Semesta
Semesta bertindak
Semesta bercakap
Semesta berpikir
Semesta mendengar, dan Semesta berkehendak
Seruan alam berdengung keseluruh jagad
Aku masih sibuk sendirian sambil menulis
Aku ingin mengenang, dikenang, dan terkenang oleh semesta yang selalu dinamis
Aku pada akhirnya hanya ingin bercerita
Semesta bercakap
Semesta berpikir
Semesta mendengar, dan Semesta berkehendak
Seruan alam berdengung keseluruh jagad
Aku masih sibuk sendirian sambil menulis
Aku ingin mengenang, dikenang, dan terkenang oleh semesta yang selalu dinamis
Aku pada akhirnya hanya ingin bercerita
Langganan:
Postingan (Atom)