Minggu, 25 April 2010

Hijau

Pada salah satu penampilannya dalam acara Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) 2010 yang diselenggarakan Walhi, teater KOIN menyinggung permasalahan ilegal logging yang terjadi pada hutan-hutan di Indonesia. Teater KOIN menyuguhkan sepenggal kisah tentang perlawanan masyarakat adat setempat untuk mempertahankan hutan mereka yang hendak dibabat habis oleh para pemilik modal yang sebagian telah mencapai kesepakatan "Ya, babat habis" oleh birokrat setempat dan pusat. Yang menarik adalah ending teatrikal tersebut. Tentu bukan kisah happy ending yang ditampilkan bahwa pada akhirnya para penjahat ini sadar kita amat sangat membutuhkan hutan demi lestarinya udara dan mengurangi dampak pemanasan global, tetapi ditutup dengan pemberian beberapa bibit tanaman kepada para penonton dengan pesan sederhana,"Tolong dijaga baik-baik."

Ibarat menyerahkan sesuatu yang berharga dan berarti, itu yang saya tangkap. Ada sesuatu yang mendesak dalam fragmen akhir tersebut. Mendesak dan menyeruak untuk diperhatikan dan segera diselesaikan. Tetapi apa kiranya yang mendesak namun terendap dalam simbolisasi penyerahan bibit pohon tersebut?

Sekali waktu dalam suatu perjalanan melewati deretan gedung-gedung bertingkat dan megah di wilayah Jakarta, suatu yang mendesak itu muncul dalam gaung yang sayangnya seringkali kita abaikan: HIJAU.

Diantara gedung-gedung tersebut terselip hijau yang terekspresi dalam wujud pohon, rerumputan, bunga, maupun cat yang menjadi dasar warna tembok suatu bangunan. Rupanya kita sangat menyukai hijau dan selalu membutuhkannya walaupun sekedar pemanis penampilan. Hijau menjadi ornamen krusial yang menandai kehidupan, keberlangsungan. Simbol yang mendesak. Simbol yang hidup dan menyegarkan.

Dalam suatu percakapan, seorang teman pernah berkelakar,"Jika di dunia ini hanya tinggal satu pohon hijau, maka semua orang pasti akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan satu pohon hijau yang hidupnya sekarat." Sayang pernyataan itu ditutup dengan sebatang rokok dan kepulan asap. Tetapi saya setuju mengenai pernyataan yang dikemukakannya. Hijau menandakan kehidupan dan kesegaran yang selalu kita cari. Tetapi seringkali kita abai padanya. Perlukah menunggu hingga hijau ini pudar dan tak lagi gemerlap digantikan merah, hitam, abu-abu, coklat dan warna pekat lainnya? Semua pilihan ada pada kita, manusia.

Pada fragmen akhir penampilan teater KOIN, sang aktor memberikan bibit pohon dengan gestur dan tatapan sendu seolah itu adalah tindakannya yang terakhir untuk menyelamatkan pohon dan hijau-meminta seorang penonton menjaga baik-baik bibit pohon tersebut.

Dan hijau bukan sekedar warna. Hijau adalah keterdesakkan yang hidup karena ia menyegarkan dan menenangkan. Karena kita selalu butuh hijau, sadar ataupun tidak.

Selamat hari bumi. Selamatkan hijau..

Tidak ada komentar: