Dalam deru
Campur debu,
kata Chairil
Tak sekedar itu
Ada asap dan polusi menguap saat hari hujan sore ini
Ringkikan mesin-mesin kendaraan membahana
hanya bikin penat
Berisik, memancing emosi
Dalam deru
campur debu
Tak sekedar itu
Waktu tak lagi sesuatu
Karena telah habis dimakan tunggu
Pak polisi sibuk merapikan baris
agar kendaraan segera tertib
dan tidak lagi saling impit
Dalam deru
campur debu
Tak sekedar itu
Padahal hujan seharusnya membikin sejuk
Tapi dalam bis-bis kota peluh lebih merajuk
dan semua orang menghirup racun
Dalam deru
campur debu
2010
Tak sekedar itu
Disekitaran Senen waktu berpacu sia-sia
Ditengah asap kendaraan, bising bunyi klakson,
polusi hasil mesin baja beroda,
penumpang bis kota yang bermandi peluh disaat hujan,
pak Polisi sibuk mengatur,
dan semua ikut melebur
Hancur!
Jumat, 27 Agustus 2010
Minggu, 25 Juli 2010
Menangkup Warna
Ayah, banyak warna di dunia ini
berkumparan bagai kunang-kunang
tetapi pelitanya lebih semarak
Banyak yang mesti diteguk saat berjumpa telaga
karena rasa air tak sekedar biasa
banyak yang tercecap lama dalam lidah
walau tak bertahan selamanya
Ayah, bahagia itu menyadari
menerima diri lebih dan kurang
dan melihat sekitar
Mereka bilang,"sesuatu baru berarti saat tak lagi ada"
Sebagian menyesal
Sisanya bersyukur
Beberapa mulai sadar dan berbenah diri
Ayah, kita tak selalu mampu meraba masa
menggenggam impian dan hilang begitu saja
Aku melihat banyak asap membumbung ke angkasa
dan rona mulai berpendar, redup
Di dunia ini banyak warna
menangkup segala rasa
luar biasa
Aku ternganga-nganga
Ayah, warna apa yang ingin kutangkup?
Warna apa yang harus kuteguk agar hidup tak lagi absurd?
Aku menyukai hijau tapi tak tahu harus apa
untuk memercikinya pada jalan yang terbentang dihadapanku
Ayah, katamu dulu jangan pernah menyerah
dan terus lihat arah
Di dunia ini banyak warna
Tapi mengapa kadang sulit, kadang bergairah?
Tetapi katamu,"tak apa-apa"
sambil tersenyum mengusap kepalaku
Aku tahu kau pun menyadari bahwa banyak warna di dunia ini, ayah
dan kau percaya padaku sepenuhnya untuk memilih warna yang kusuka
berkumparan bagai kunang-kunang
tetapi pelitanya lebih semarak
Banyak yang mesti diteguk saat berjumpa telaga
karena rasa air tak sekedar biasa
banyak yang tercecap lama dalam lidah
walau tak bertahan selamanya
Ayah, bahagia itu menyadari
menerima diri lebih dan kurang
dan melihat sekitar
Mereka bilang,"sesuatu baru berarti saat tak lagi ada"
Sebagian menyesal
Sisanya bersyukur
Beberapa mulai sadar dan berbenah diri
Ayah, kita tak selalu mampu meraba masa
menggenggam impian dan hilang begitu saja
Aku melihat banyak asap membumbung ke angkasa
dan rona mulai berpendar, redup
Di dunia ini banyak warna
menangkup segala rasa
luar biasa
Aku ternganga-nganga
Ayah, warna apa yang ingin kutangkup?
Warna apa yang harus kuteguk agar hidup tak lagi absurd?
Aku menyukai hijau tapi tak tahu harus apa
untuk memercikinya pada jalan yang terbentang dihadapanku
Ayah, katamu dulu jangan pernah menyerah
dan terus lihat arah
Di dunia ini banyak warna
Tapi mengapa kadang sulit, kadang bergairah?
Tetapi katamu,"tak apa-apa"
sambil tersenyum mengusap kepalaku
Aku tahu kau pun menyadari bahwa banyak warna di dunia ini, ayah
dan kau percaya padaku sepenuhnya untuk memilih warna yang kusuka
Rabu, 21 Juli 2010
MATI SEPI
(amos lee-colors)
mengapa waktu berjalan dalam iringan detik?
agar kau tak kehilangan setiap momen dalam hidupmu yang bias
mengapa harapan itu ada?
karena hidup tak selalu menyenangkan tiap detiknya sehingga kau butuh
harapan tentang satu momen yang membuatmu tersenyum dan bersemangat
dalam gelap aku termangu rindu
visiku cemerlang menatap waktu
dan aku merasa kasdu
betapa aku merindukan masa lalu
disela-sela malam aku melihat kematian dan perpisahan menjadi padu
tak pernah ku takut jika aku yang dipanggil lebih dulu
aku justru takut kehilangan waktu
aku rindu ayah, ibu, adik dan mereka yang kukasihi
aku takut tak dapat menyulam masa bersama mereka lagi
bukan karena mati
tidak sekedar mati
tetapi karena waktu yang berjalan ribut dan serampangan
mengapa Tuhan tak hadirkan abadi pada kita?
karena abadi tak membuat kita bersyukur
karena abadi berarti tak hidup
karena abadi membuat kita abai pada sekitar
Tuhan, aku tak takut mati melainkan waktu
untuk mereka yang kukenal, aku hanya ingin berkata
AKU SAYANG KALIAN
dalam hidup kita tumbuh dan mati
dan kehilangan banyak memori
aku rasa aku akan baik-baik saja
harus baik-baik saja
karena tiketku belum bergulir menuju mati

Senin, 28 Juni 2010
The Prestige: Terbuai dengan Alur
The Prestige merupakan film yang menarik dengan alur yang tak urut dan acak. Film ini secara singkat menceritakan tentang persaingan dua pesulap yang masing-masing berusaha saling menjatuhkan. Persoalan muncul ketika salah seorang diantara mereka memiliki suatu trik jitu yaitu dapat menggandakan diri pada saat yang bersamaan. Mulailah intrik untuk mencuri rahasia tersebut hingga mengantarkan pada keajaiban science. Hal yang menarik dari film ini karena dikemas dengan alur yang acak dan lompat-lompat. Sehingga ending dari cerita tersebut agak sulit ditebak.
Saya menyukai film-film semacam ini yang memerlukan tindak berpikir investigatif untuk mengetahui dan membaca keseluruhan cerita. Singkatnya saya senang membaca berbagai intrik yang tersaji dari suatu film untuk kemudian menyocokkannya dengan ending ceritanya. Hampir semua film yang memenuhi kualifikasi investigatif dapat saya baca alur dan endingnya. Seperti misalnya salah satu film Harrison Ford yang saya lupa judulnya, tetapi menceritakan tentang pembunuhan seorang pengacara wanita. Harrison Ford yang menjadi pengacara dan juga teman korban pembunuhan ini dituduh sebagai tersangka. Berbagai bukti yangada mengarah padanya. Ending film ini telah dapat saya tebak kelanjutannya ketika alur yang mengalir dalam film mulai menampakkan ketidaksesuaian dengan berbagai tesis yang coba dipertahankan oleh beberapa tokoh. Selain itu juga ada beberapa film seperti Prince of Persia, Edge of Darkness, The Bone colector, dan film-film lain yang saya lupa judulnya.
Apa yang menarik dari The Prestige bagi saya? Mungkin karena alurnya yang acak dan berlompat-lompatan membuat saya perlu untuk lebih memperhatikan jalinan cerita satu sama lain yang tak sama sehingga saya agak kesulitan pada awalnya untuk menebak apa yang kira-kira menjadi ending dari cerita tersebut maupun menebak trik apa yang kiranya digunakan si pesulap menggandakan dirinya.
Bagi siapapun yang menyenai pola pikir investigatif, The Prestige dapat menjadi rujukan yang bagus untuk mengasah kemampuan investigatif tersebut. Atau bagi yang ingin mencoba merasakan sensasi menonton film dengan menebak beberapa bagian didalamnya, film ini dapat menjadi rujukan yang bagus.
Minggu, 02 Mei 2010
Tanda Seru untuk Lingkungan dan Lapindo
Suatu pertunjukkan teatrikal hari ini di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta dalam rangka Konsultasi Publik JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) menarik perhatian saya. Santo Klingon, sang seniman dengan lumuran cat biru muda sekujur tubuh sambil membagi-bagikan beberapa cermin berukuran kecil kepada pengunjung yang menyaksikan pertunjukkannya berujar pelan dan penuh penekanan,"5 tahun lagi, 15 tahun,... tak masalah. Tak apa-apa"

Apa yang dimaksudkannya dalam bilangan tahun tersebut? Apa yang ditunggu dari 5 tahun, 15 tahun, bahkan 20 tahun lagi, Santo?
Saya pikir tentu penampilannnya berkaitan dengan tema konsultasi yang diselenggarakan JATAM yang memiliki konsentrasi pada pertambangan di Indonesia serta nasib masyarakat di sekitar lokasi. Mungkin juga berkaitan dengan dua buah karya seni instalasi yang dipajang sepanjang acara berlangsung yang dibuat oleh dua perupa IKJ dan UNJ.Instalasi yang satu menampakkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan Newmont dengan membuang limbah mereka ke teluk yang ada disekitarnya dan mencemari ikan-ikan yang ironisnya dikonsumsi masyarakat setempat. Instalasi yang lainnya menggambarkan lumpur Lapindo dan kongkalikong antara pemerintah dan Bakrie coorporation.


Pasti menyindir Lapindo kan, Santo?? Karena kau lumuri tubuhmu dengan cat yang seperti lumpur. Tetapi saya tak mengerti penggunaan kaca pada penampilannya. Mungkin agar kita melihat diri kita dalam cermin dan memperbaiki diri kita yang ternyata sangat banyak salah ini?
Namun, Santo terburu menjawab pertanyaan saya dalam pertunjukkan keduanya. Ia memang menyindir Lapindo. Kaca yang dilumurinya pula oleh cat dan lumpur pada instalasi yang juga menyinggung Lapindo merupakan anekdot mengenai jin lumpur yang dilihat warga beberapa tahun yang lalu saat lumpur Lapindo pelan-pelan menggerus pemukiman mereka. Sang Jin berseru lantang,"Bukan aku yang harusnya mandi dan berbersih diri, melainkan kalian semua yang harus mandi dan membersihkan diri sendiri."


Apa yang dimaksudkannya dalam bilangan tahun tersebut? Apa yang ditunggu dari 5 tahun, 15 tahun, bahkan 20 tahun lagi, Santo?
Saya pikir tentu penampilannnya berkaitan dengan tema konsultasi yang diselenggarakan JATAM yang memiliki konsentrasi pada pertambangan di Indonesia serta nasib masyarakat di sekitar lokasi. Mungkin juga berkaitan dengan dua buah karya seni instalasi yang dipajang sepanjang acara berlangsung yang dibuat oleh dua perupa IKJ dan UNJ.Instalasi yang satu menampakkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan Newmont dengan membuang limbah mereka ke teluk yang ada disekitarnya dan mencemari ikan-ikan yang ironisnya dikonsumsi masyarakat setempat. Instalasi yang lainnya menggambarkan lumpur Lapindo dan kongkalikong antara pemerintah dan Bakrie coorporation.


Pasti menyindir Lapindo kan, Santo?? Karena kau lumuri tubuhmu dengan cat yang seperti lumpur. Tetapi saya tak mengerti penggunaan kaca pada penampilannya. Mungkin agar kita melihat diri kita dalam cermin dan memperbaiki diri kita yang ternyata sangat banyak salah ini?
Namun, Santo terburu menjawab pertanyaan saya dalam pertunjukkan keduanya. Ia memang menyindir Lapindo. Kaca yang dilumurinya pula oleh cat dan lumpur pada instalasi yang juga menyinggung Lapindo merupakan anekdot mengenai jin lumpur yang dilihat warga beberapa tahun yang lalu saat lumpur Lapindo pelan-pelan menggerus pemukiman mereka. Sang Jin berseru lantang,"Bukan aku yang harusnya mandi dan berbersih diri, melainkan kalian semua yang harus mandi dan membersihkan diri sendiri."


Rabu, 28 April 2010
Membaca Malam
.jpg)

Pada malam aku membaca suatu risalah kematian
Pekatnya yang tergradasi oleh langit kelam
terterangi oleh bulan yang memancar penuh dengan lapisan halo disekelilingnya
sewarna pelangi
Kisahnya ditulis dengan tinta beraroma busuk dan bau tanah basah
Pada malam aku membaca kematian yang indah dan syahdu
Aku merasa sendu dan terharu ditengah malam berjalan sendiri menatap malam
Seolah malam menunjukkan hidup yang kujalani dan kematian yang harus kulewati
Kematian yang begitu indah dan membuat takjub
Yang memberi kesadaran bahwa ternyata kisahku tak banyak orang ingin tahu
Aku tak dikenali siapa-siapa
Aku tak dapat berkata-kata dan aku menemukan kematian yang erotis dalam senandung
berisiknya bising kendaraan
Banyak yang kusembunykan dari siang
Dalam cengkeraman siang dan matahari yang menyilaukan
Berbanyak dari kalian menuntutku pada batas yang tak kalian mengerti dan tak ingin
kalian ketahui
Pada siang hidup hanya sekedar perlombaan menuju finish yang tak kunjung jelas
Apa yang ingin didengar, dilihat, dirasa pada diriku hanyalah sebatas kelambu yang
koyak tak bersisa
Kalian hanya mengetahui apa yang ingin diketahui dariku
Tetapi aku adalah titah malam
tlah lama kubergumul didalamnya
karena pada malam aku dapat bercerita sesungguhnya tentang diriku
Aku membaca risalah tentang malam pada selembar langit bertabur bintang
Aku membaca tentang kematianku
Bahwa aku ingin mati dan merasa damai dalam malam
Minggu, 25 April 2010
Hijau
Pada salah satu penampilannya dalam acara Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) 2010 yang diselenggarakan Walhi, teater KOIN menyinggung permasalahan ilegal logging yang terjadi pada hutan-hutan di Indonesia. Teater KOIN menyuguhkan sepenggal kisah tentang perlawanan masyarakat adat setempat untuk mempertahankan hutan mereka yang hendak dibabat habis oleh para pemilik modal yang sebagian telah mencapai kesepakatan "Ya, babat habis" oleh birokrat setempat dan pusat. Yang menarik adalah ending teatrikal tersebut. Tentu bukan kisah happy ending yang ditampilkan bahwa pada akhirnya para penjahat ini sadar kita amat sangat membutuhkan hutan demi lestarinya udara dan mengurangi dampak pemanasan global, tetapi ditutup dengan pemberian beberapa bibit tanaman kepada para penonton dengan pesan sederhana,"Tolong dijaga baik-baik."
Ibarat menyerahkan sesuatu yang berharga dan berarti, itu yang saya tangkap. Ada sesuatu yang mendesak dalam fragmen akhir tersebut. Mendesak dan menyeruak untuk diperhatikan dan segera diselesaikan. Tetapi apa kiranya yang mendesak namun terendap dalam simbolisasi penyerahan bibit pohon tersebut?
Sekali waktu dalam suatu perjalanan melewati deretan gedung-gedung bertingkat dan megah di wilayah Jakarta, suatu yang mendesak itu muncul dalam gaung yang sayangnya seringkali kita abaikan: HIJAU.
Diantara gedung-gedung tersebut terselip hijau yang terekspresi dalam wujud pohon, rerumputan, bunga, maupun cat yang menjadi dasar warna tembok suatu bangunan. Rupanya kita sangat menyukai hijau dan selalu membutuhkannya walaupun sekedar pemanis penampilan. Hijau menjadi ornamen krusial yang menandai kehidupan, keberlangsungan. Simbol yang mendesak. Simbol yang hidup dan menyegarkan.
Dalam suatu percakapan, seorang teman pernah berkelakar,"Jika di dunia ini hanya tinggal satu pohon hijau, maka semua orang pasti akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan satu pohon hijau yang hidupnya sekarat." Sayang pernyataan itu ditutup dengan sebatang rokok dan kepulan asap. Tetapi saya setuju mengenai pernyataan yang dikemukakannya. Hijau menandakan kehidupan dan kesegaran yang selalu kita cari. Tetapi seringkali kita abai padanya. Perlukah menunggu hingga hijau ini pudar dan tak lagi gemerlap digantikan merah, hitam, abu-abu, coklat dan warna pekat lainnya? Semua pilihan ada pada kita, manusia.
Pada fragmen akhir penampilan teater KOIN, sang aktor memberikan bibit pohon dengan gestur dan tatapan sendu seolah itu adalah tindakannya yang terakhir untuk menyelamatkan pohon dan hijau-meminta seorang penonton menjaga baik-baik bibit pohon tersebut.
Dan hijau bukan sekedar warna. Hijau adalah keterdesakkan yang hidup karena ia menyegarkan dan menenangkan. Karena kita selalu butuh hijau, sadar ataupun tidak.
Selamat hari bumi. Selamatkan hijau..
Ibarat menyerahkan sesuatu yang berharga dan berarti, itu yang saya tangkap. Ada sesuatu yang mendesak dalam fragmen akhir tersebut. Mendesak dan menyeruak untuk diperhatikan dan segera diselesaikan. Tetapi apa kiranya yang mendesak namun terendap dalam simbolisasi penyerahan bibit pohon tersebut?
Sekali waktu dalam suatu perjalanan melewati deretan gedung-gedung bertingkat dan megah di wilayah Jakarta, suatu yang mendesak itu muncul dalam gaung yang sayangnya seringkali kita abaikan: HIJAU.
Diantara gedung-gedung tersebut terselip hijau yang terekspresi dalam wujud pohon, rerumputan, bunga, maupun cat yang menjadi dasar warna tembok suatu bangunan. Rupanya kita sangat menyukai hijau dan selalu membutuhkannya walaupun sekedar pemanis penampilan. Hijau menjadi ornamen krusial yang menandai kehidupan, keberlangsungan. Simbol yang mendesak. Simbol yang hidup dan menyegarkan.
Dalam suatu percakapan, seorang teman pernah berkelakar,"Jika di dunia ini hanya tinggal satu pohon hijau, maka semua orang pasti akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan satu pohon hijau yang hidupnya sekarat." Sayang pernyataan itu ditutup dengan sebatang rokok dan kepulan asap. Tetapi saya setuju mengenai pernyataan yang dikemukakannya. Hijau menandakan kehidupan dan kesegaran yang selalu kita cari. Tetapi seringkali kita abai padanya. Perlukah menunggu hingga hijau ini pudar dan tak lagi gemerlap digantikan merah, hitam, abu-abu, coklat dan warna pekat lainnya? Semua pilihan ada pada kita, manusia.
Pada fragmen akhir penampilan teater KOIN, sang aktor memberikan bibit pohon dengan gestur dan tatapan sendu seolah itu adalah tindakannya yang terakhir untuk menyelamatkan pohon dan hijau-meminta seorang penonton menjaga baik-baik bibit pohon tersebut.
Dan hijau bukan sekedar warna. Hijau adalah keterdesakkan yang hidup karena ia menyegarkan dan menenangkan. Karena kita selalu butuh hijau, sadar ataupun tidak.
Selamat hari bumi. Selamatkan hijau..
Langganan:
Postingan (Atom)