Selasa, 19 Oktober 2010

Indonesia Maritim: Kepemimpinan Bervisi Laut

Wilayah Perbatasan Indonesia: Anak Tiri yang Diabaikan
Dalam suatu tulisan agar dapat lolos Kuliah Kerja Nyata (K2N) di beberapa wilayah perbatasan Indonesia, saya mengangkat tentang Sebatik, salah satu wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia yang berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Permasalahan menarik dari Sebatik adalah wilayahnya yang dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia. Sebatik bagian utara menjadi milik Malaysia, sementara Sebatik bagian selatan dikuasai oleh Indonesia. Sebatik milik Malaysia dengan Tawau sebagai poros perekonomiannya membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi warga Malaysia. Berbeda dengan Malaysia, Sebatik wilayah Indonesia merupakan kemiskinan yang memprihatinkan. Jalan-jalan rusak, sulit air bersih, tidak tersedianya sarana dan prasarana bagi warga untuk mengembangkan perekonomian wilayahnya memaksa para warga menjual hasil bumi dan lautnya ke Tawau, Malaysia. Sehingga jangan heran jika di Sebatik mata uang yang digunakan dua, yaitu ringgit dan rupiah.
Berbagai permasalahan tersebut tidak hanya dialami oleh Sebatik, tetapi juga banyak wilayah perbatasan Indonesia yang sebagian besar berupa daerah pesisir. Kemiskinan menjadi asosiasi mutlak yang dilekatkan kepada kehidupan warga wilayah perbatasan maupun pesisir Indonesia. Mereka terisolasi dari banyak kemajuan yang telah dikecap oleh masyarakat perkotaan. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari diusahakan dengan keterbatasan sarana dan kemampuan. Walaupun telah berbanyak pejabat pemerintah mengunjungi wilayah-wilayah ini, namun perbaikan tak jua kunjung hadir. Peningkatan kesejahteraan warga pesisir dan perbatasan rupanya belum menjadi agenda utama Pemerintah.
Beberapa pakar menilai hal tersebut dapat terjadi karena Pemerintah belum berorientasi kepada laut padahal Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Belum termanfaatkannya laut sebagai pemersatu Republik ini membuat pemerataan kesejahteraan menjadi timpang antara kota dan wilayah pesisir dan perbatasan. Sehingga jangan salahkan ketika Sebatik, misalnya bergantung sepenuhnya pada Tawau dan memilih ringgit ketimbang rupiah. Jangan salahkan pula jika sebagian dari mereka mengubah kewarganegaraan karena melihat negara lain lebih dapat menjamin nasib mereka ketimbang negara sendiri.


Kepemimpinan Versi Laut
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki tantangan berat untuk menjaga kesatuan wilayahnya dari berbagai ancaman disintegrasi yang dapat merusak kedaulatan. Pulau-pulau yang tersebar dan dipisahkan oleh laut menjadi permasalahan tersendiri dalam pemenuhan pemerataan kesejahteraan rakyatnya. Selama ini konsentrasi pembangunan rakyat hanya terletak di pulau-pulau besar Indonesia, seperti pulau Jawa. Hal demikian merupakan salah satu penyebab maraknya urbanisasi ke kota-kota besar. Tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di wilayah-wilayah subordinat tersebut memicu para warganya untuk mengadu nasib di kota besar demi mengharapkan kualitas kehidupan yang lebih baik.
Indonesia sebagai sebuah negara maritim merupakan fakta yang tak terbantahkan. Akan tetapi pola pemerintahan yang dijalankan belum berorientasi kepada laut. Menurut Emil Salim, kepemimpinan yang memiliki orientasi kepada laut merupakan model kepemimpinan yang dinamis. Seperti seorang nahkoda memahami betul medan yang dihadapinya, punya wawasan yang luas dan terintegrasi terhadap segala persoalan yang muncul. Sementara bagi beberapa pakar, model kepemimpinan yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia masih sangat berorientasi kepada darat. Pemusatan pembangunan pada wilayah-wilayah tertentu merupakan ciri kepemimpinan model darat. Sehingga banyak wilayah yang belum teroptimalkan dengan baik.
Apa kiranya yang menyebabkan Indonesia belum bervisi kelautan dalam kepemimpinannya? Karena Indonesia masih melihat laut sebagai pembeda, bukan pemersatu kedaulatan bangsa. Menurut Prof. Dr. Andre A. Hardjana, MA, laut merupakan suatu misteri pemikiran serta membangun kepercayaan baik pada ilmu pengetahuan maupun pada diri sendiri. Pandangan demikian melahirkan kepemimpinan yang pantang menyerah, tegar dan tegas serta menciptakan persatuan dan kesatuan karena memiliki kepekaan dalam menghadapi setiap situasi baru yang ditemukan.


Laut sebagai Pemersatu Bangsa
Mengapa banyak terjadi kasus yang memicu disintegrasi bangsa? Mengapa pulau Sipadan dan Ligitan tak berhasil dipertahankan Indonesia? Mengapa warga diperbatasan sampai ada yang mengubah kewarganegaraan? Serta masih banyak pertanyaan mengapa yang menunggu untuk dijawab lewat solusi konkret Pemerintah.
Indonesia merupakan negara yang luas lautan lebih besar daripada luas daratannya. Pemanfaatan optimal terhadap laut belum dilaksanakan Pemerintah. Berbagai sumber daya alam yang terkandung didalamnya justru kini banyak dikuasai oleh asing. Pembangunan wilayah pesisir dan perbatasan terabaikan. Semua ini karena selain Indonesia belum bervisi kelautan dalam kepemimpinannya, namun juga karena laut masih dianggap sebagai pemisah bukan sebagai penghubung antar pulau.
Sejarah lampau Indonesia seperti pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah membuktikan bahwa kepemimpinan yang bervisi laut serta menganggap laut sebagai penghubung dan penyatu antar wilayah membuka sekat-sekat perbedaan yang ada. Arus komunikasi yang dinamis antar pulau membuka peluang bagi persebaran budaya maupun pemerataan ekonomi. Hasil laut dan bumi tersebar kesegala penjuru negeri dan pemenuhan kebutuhan tercukupi dengan baik.
Saat laut dipandang sebagai pemersatu, maka disitu mulai terbuka kesempatan bagi tiap-tiap wilayah di Indonesia untuk mengembangkan potensinya masing-masing. Lewat arus transportasi kelautan yang jelas dan merata, perbaikan ekonomi tiap wilayah memungkinkan. Setiap wilayah memiliki sumber daya yang berbeda. Masing-masing warga akan mengolah hasil sumber daya wilayah mereka baik dari laut maupun darat untuk kemudian didistribusikan ke wilayah lain. Tidak hanya dalam bidang pemenuhan kebutuhan serta pemanfaatan hasil sumber daya yang membaik, tetapi arus informasi pun menyebar luas. Terjadi pencampurbauran budaya antar tiap-tiap wilayah yang mengakibatkan akulturasi budaya. Masing-masing wilayah bersinggungan budayanya satu sama lain karena aktifitas pelayaran yang dinamis. Mereka akan mulai belajar dan memahami kebudayaan lain sehingga kerukunan maupun sikap toleransi tak mustahil tercipta. Keterbukaan macam ini niscaya akan semakin memperkokoh kesatuan dan persatuan Republik Indonesia.
Pemanfaatan laut secara tepat dengan visi kepemimpinan yang berorientasi laut mampu membawa pemerataan kesejahteraan tiap-tiap wilayah. Ketimpangan yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di kota besar akan tereduksh perlahan seiring pemanfaatan laut yang tepat guna. Semangat otonomi daerah, tiap-tiap wilayah dapat mengembangkan wilayahnya masing-masing sesuai dengan ciri masyarakat dan sumber daya alam yang dimilikinya. Namun hal ini perlu diikuti dengan kesadaran Pemerintah Daerah untuk berorientasi pada laut dan mengedepankan kemajuan wilayah serta masyarakatnya ketimbang mengedepankan kesejahteraan diri sendiri dan golongan tertentu. Sehingga berbagai macam pertanyaan mengapa yang menghantui Indonesia terkait dengan kebijakan yang dijalankan dapat terselesaikan dengan baik.
Tak perlu lagi ada warga negara Indonesia yang berganti kewarganegaraan karena negara tidak memperhatikan kesejahteraan warganya. Tak perlu lagi ada pulau-pulau lain di Indonesia yang diklaim pihak lain. Tak perlu ada kerjasama asing yang ternyata menyengsarakan rakyat jika rakyat dapat diberdayakan dan dipercayakan untuk mengolah sumber dayanya masing-masing. Dan tak perlu lagi ada kelompok separatis yang mengancam kedaulatan jika Pemerintah dapat memberikan jaminan kesejahteraan yang sama bagi seluruh warga negaranya.

1 komentar:

Rae mengatakan...

he..
baru tadi siang liat liputan tentang sebatik.

tapi, kok kayaknya gue agak gak setuju sama pendapat lo kalo masalah utama kesejahteraan indonesia itu karena orientasi kepemimpinan yang terlalu mikirin daratan. menurut gue sih gak gitu juga. anceman disintegrasi sama masalah kesejahteraan emang karena pilihan pemerintah yang terlalu sentralistik. tapi menurut gue solusi utamanya bukan di pengembangan potensi laut atopun masyarakat pesisir.

bahwa hal itu harus dicermati ya gue setuju-setuju aja, tapi yang utama itu lebih ke pengembangan potensi yang sifatnya kedaerahan.

jangan kayak sekarang, ngeliat tanah dikit mesti mau ditanem sawit.