Rabu, 20 Oktober 2010

Memanusiakan Sejarah: Refleksi paska Gerakan 30 September 1965*

Paska Gerakan 30 September 1965
Tanggal 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia disiarkan melakukan pembunuhan terhadap beberapa petinggi ABRI yang dianggap sebagai penghalang rencana mereka untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno. Mereka menyebarkan isu "Dewan Jenderal" bahwa akan ada pemberontakan yang dilakukan para jenderal untuk merebut kedaulatan Negara dibawah pimpinan Soekarno. Namun, hal ini dapat segera ditumpas oleh Soeharto dalam tempo singkat. Media massa yang berafiliasi kepada Militer merebut perhatian publik segera setelah media massa yang berhaluan PKI dibekukan. Berita yang tersiar PKI akan melakukan kudeta, PKI melakukan penyiksaan dan pembunuhan secara keji terhadap beberapa Jenderal di Lubang Buaya, PKI melawan Pancasila dan hendak menggantinya dengan ideologi Komunis. Serta berbagai pemberitaan seputar PKI yang memicu kemarahan rakyat banyak disamping kondisi negara yang sedang mengalami krisis ekonomi dan berakhir pada kekacauan yang ada dimasyarakat-yang terburuk adalah pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang dianggap sebagai PKI.
Pembantaian besar-besaran terjadi beberapa minggu setelah peristiwa tanggal 30 September. Konsentrasi massa terbanyak ada di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali walau dibeberapa tempat lain juga terjadi pembantaian serupa. Beberapa data mensinyalir angka-angka fantastis seputar mereka yang dicap sebagai PKI kemudian dibunuh. Ada yang menyebut total korban pembantaian paska 30 September 78.500, 180.000, hingga mencapai 2 juta orang. Berbagai tempat yang menjadi kuburan massal tersebar dibeberapa wilayah seperti di Indramayu, Klaten, Banyuwangi di pulau Jawa dan di Jembrana, Buleleng, dan Tabanan di Bali. Hal yang menarik adalah pembantaian yang terjadi dilakukan tidak hanya oleh alat negara yaitu militer melainkan juga turut serta kelompok masyarakat tertentu. Selain itu tidak seperti pembantaian yang dilakukan oleh Nazi dibawah Hitler lewat pembangunan kamp konsentrasi, kamar gas, dan sebagainya. Pembantaian yang terjadi di Indonesia paska 30 September tidak butuh senjata berteknologi canggih, kamp konsentrasi dan lain sebagainya. Cukup dengan menebarkan teror dan memunculkan konflik-konflik lama yang terkelola dimasyarakat dan dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Soeharto dan pihak-pihak yang bersejalan dengannya. Media turut serta memancing emosi publik lewat pemberitaan-pemberitaan hiperbolis seperti sebelum dibunuh, para Jenderal disiksa, dimutilasi kelaminnya oleh Gerwani-kelompok perempuan yang bersisian dengan PKI. Padahal beberapa ahli yang memeriksa jenazah para Jenderal tidak menemukan adanya luka sayatan yang dimaksud tetapi hal ini ditutup-tutupi oleh Militer.
Apa kiranya yang membuat tahun-tahun paska 30 September begitu mencekam, orang-orang memburu mereka yang dicap komunis dan kemudian dibunuh? Krisis ekonomi yang membuat kehidupan rakyat sulit lalu ditambah dengan peristiwa pembunuhan para Jenderal menempatkan PKI sebagai kambing hitam yang memsti dipersalahkan dan menanggung risiko kemarahan publik. Sehingga tak heran jika pembantaian terhadap PKI merupakan puncak kegeraman yang sedang dialami rakyat. Mereka yang dituduh PKI dikejar, dikeroyok, diculik, bahkan dibunuh. Situasi yang terjadi tereduksi menjadi kondisi bunuh atau dibunuh, kill or be killed. Pandangan Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain mendapat legitimasinya saat itu. Militer yang seharusnya menjadi pelindung warganegara justru dalang dibalik kondisi kaotik tersebut. Militer melegalkan "perburuan" terhadap siapa saja yang dicap komunis. Alasan yang mengemuka adalah Komunis-PKI mengancam kedaulatan negara, mencoba mengganti ideologi Pancasila, anti agama, dan sebagainya. Siapapun yang dituduh PKI berkonsekuensi dibunuh walau hal tersebut hanya sekedar isu. Keluarga yang bersangkutan menerima kutukan turun temurun. Dihina, dinistakan, dijadikan sasaran kemarahan warga, diabaikan hak-haknya sebagai warganegara. Stigmatisasi komunis membutakan mata kita bahwa mereka juga sama-sama manusia. Punya hak dan kebebasan yang sama. Tapi diingkari dengan sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.
Soeharto mendapatkan apa yang didambanya; menjadi penguasa. Dimulailah rezim totaliter yang mengabaikan prinsip-prinsip humanitas. Sejarah dibentuk sedemikian rupa. Berubah wajah menjadi sekedar cerita kepahlawanan militer terhadap komunis. Dan sialnya kita ikut-ikutan lupa atau mungkin tak ingin berpikir pernah ada kasus pembantaian luar biasa terhadapa sesama manusia yang dilakukan atas nama kedaulatan rakyat. Ada manusia-manusia yang menjadi korban, sama seperti kita. Tetapi mereka bungkam dan diingkari.

Totalitarianisme ala Soeharto
Didalam bukunya, Memahami Negativitas, Budi Hardiman mencoba mengurai diskursus antara massa, terror, dan trauma. Mengapa muncul stigmatisasi terhadap the other? The other merupakan pihak yang juga hidup diantara kita tetapi mereka terdeformasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah pantas dieksklusikan dari kekitaan yang menganggap diri normal dan mayoritas pasti benar, sehingga layak dihilangkan, diingkari eksistensinya. Dalam pandangan Arendt, pihak yang dikambinghitamkan bisa masuk kategori the other. Didalam ruang sosial kita secara seenaknya menyingkirkan mereka yang dicap tidak sama dengan kita untuk keluar dari wilayah sosial yang sebelumnya baik kita dan mereka berada bersama didalamnya. Kekitaan punya dua makna penting yang mesti dicermati. Pertama, kekitaan melibatkan intersubjektivitas antara aku dan kamu yang tidak melenyapkan ruang perbedaan didalamnya. Kedua, kekitaan tak bergerak kearah pengenalan intersubjektivitas. Kekitaan model kedua melahirkan diskriminasi yang berujung pada stigma yang menegasikan eksistensi pihak lain-dalam hal ini the other. Kita tidak membiarkan hadirnya kebebasan terhadap yang lain untuk berbeda karena didalam pikiran kita sendiri ada semacam ketakutan bahwa diri kita akan berbeda seiring membiarkan orang lain berbeda.
Lalu bagaimana memahami hal tersebut terkait dengan konteks pembantaian massal paska 30 September?
Hannah Arendt membedakan antara apolitik dengan politik. Apolitik merupakan manusia yang terkonstruksi dari hasil kesadaran, bukan manusia yang konkret. Sementara politik berlangsung diantara manusia-manusia maka politik berada diluar manusia sehingga tidak ada substansi politis. Apolitik dipahami sebagai sesuatu yang singular, ideal, homogen. Sedangkan politik merupakan pluralitas yang berkelindan disekeliling manusia. Politik dalam pandangan Arendt bukanlah relasi antara yang berkuasa dan yang dikuasai melainkan dipahami sebagai suatu kebebasan yang tidak hanya membiarkan pihak lain berbeda, melainkan juga memberanikan diri untuk berbeda. Politik adalah kekitaan yang melebur dalam intersubjektivitas. Permasalahannya apolitik disalahpahami sebagai yang politik dan memunculkan dominasi-totalitarianisme.
Soeharto membaca dengan cermat kekitaan kita yang ada dimasyarakat dan memanfaatkannya untuk mendominasi berbagai pihak yang asalinya berbeda, plural kedalam suatu homogenitas tertentu. Politik yang seharusnya dipahami dalam bingkai kebebasan dipergunakan sebagai alat untuk menguasai. Rakyat tidak diperlakukan sebagai warganegara yang memiliki hak sama melainkan sebagai kumpulan massa yang digiring menuju homogenitas lewat ideologi Pancasila, terror dan horror yang tak lain demi melegitimasi kekuasaannya. Berbagai isu seputar Komunisme dibuat sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketakutan, kecemasan diantara masyarakat yang berujung pada kategori bunuh atau dibunuh. Massa tak ubahnya mesin-mesin perang untuk menggilas pihak lain dan mendorong pada homogenitas kekuasaan dibawah Soeharto. Pembantaian yang terjadi paska 30 September menjadi inisiasi bagi keberlangsungan suatu rezim. Siapapun yang tak sama mesti disingkirkan, apapun caranya. Intersubjektivas dalam kekitaan yang semestinya dapat membuka ruang komunikasi diantara kita yang berbeda terabaikan. Stigmatisasi merebak kesegala penjuru dan terror merajalela, Soeharto jumawa. Militer yang berada dibawah kendalinya menjadi perpanjangan tangan kuasa untuk menindas the other-dalam hal ini PKI.

Rehabilitasi bagi The Other
Pembantaian yang dilakukan secara masif paska 30 September menimbulkan luka yang demikian dalam bagi siapapun yang mengalaminya. Kategorisasi Komunis dan Non Komunis sungguh mereduksi nilai manusia serta kebebasannya. Saya teringat dengan ibu Nani Nurani, eks-tapol yang merupakan penari pada era 60-an namun dituduh Gerwani dan dipenjarakan selama sekian tahun. Hak-haknya dirampas sebagai warga negara. Selama dibui tak pernah ada pengadilan yang dilaksanakan terhadap dirinya. Saat dirinya keluar penjara pun cap sebagai eks tapol yang hampir selalu berkorelasi dengan komunis tak dapat hilang begitu saja. Ia tak diperkenankan memiliki KTP seumur hidup. Nasib ibu Nani Nurani mungkin masih lebih baik ketimbang teman-teman perempuan sesama tapol yang dicap Gerwani. Diantara mereka ada yang dilecehkan, diperkosa, disiksa, dan berbagai bentuk kekejian lainnya. Selain itu ada Suswardoyo yang ayahnya ditangkap oleh pasukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) dan tak pernah tahu bagaimana nasib ayahnya kemudian, hilang bagai ditelan bumi. Padahal ayah Suswardoyo adalah salah seorang pejuang zaman kemerdekaan RI. Hidup Suswardoyo koyak paska cap komunis yang dilekatkan kepada ayahnya. Hidupnya menjadi sebuah kutukan tak berkesudahan. Aksesnya sebagai warganegara yang sama haknya dengan yang lain diabaikan oleh negara dan sosial. Serta masih banyak cerita mengenai para korban yang sebagian bungkam, tak didengar dan diabaikan. Semua hal demikian begitu mengerikan untuk dirangkai menjadi cerita. Begitu banyak trauma yang mesti dirasakan kembali oleh para korban.
Reformasi bergulir dan rezim Soeharto tumbang digantikan oleh demokrasi. Kebebasan yang sebelumnya dipasung diserukan gaungnya pada saat ini untuk diminta implementasinya kepada para tiap-tiap warganegara. Tetapi selalu ada yang tertinggal dari sejarah. Salah satunya adalah apa yang terjadi paska 30 September 1965. Mereka yang menjadi korban belum sepenuhnya mendapatkan haknya kembali. Pengusutan tuntas hal tersebut begitu sulit dan menjalani proses yang berputar-putar. Para pelaku tidak pernah benar-benar diperkarakan ke pengadilan untuk dihukum sesuai perbuatannya. Hukum menjadi sesuatu yang abnormal jika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang melibatkan para penguasa sebagai pelaku. Sementara itu arus massa bergerak cepat dan kita lupa, tak mau tahu pernah ada peristiwa mengerikan terjadi disekeliling kita. Para korban kembali berteriak digurun pasir, tak ada yang sudi mendengar apalagi menuntut rehabilitasi bagi hak-hak mereka. Pengakuan maaf dari pemerintah pun tak pernah ada. Kita mengendapkan sesuatu yang mestinya kita selesaikan. Sebab hal demikian dapat menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan republik ini.
Arendt secara bijaksana menyodorkan solusi untuk mengakhiri kekejaman yang pernah terjadi atas nama homogenitas, totalitarianisme, yaitu memaafkan dan berjanji untuk tidak berlaku keji kepada rakyat. Sulitkah? Jelas sangat sulit, karena butuh keberanian luar biasa untuk memaafkan mereka yang salah maupun berjanji untuk tidak melakukan hal yang dapat mencederai kemanusiaan kita. Tidak semua orang mampu melakukannya. Namun apa yang ditawarkan Arendt merupakan suatu usaha untuk menjadikan kita berlaku dewasa, memanusiakan sejarah. Sejarah tidak lagi dianggap sebagai kisah heroik orang-orang yang menang, melainkan melihat sisi kemanusiaan yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia, baik pelaku maupun korban. Memaafkan berarti merelakan apa yang pernah terjadi dimasa lalu dan kemampuan berjanji menuntut komitmen kepada pihak-pihak terkait untuk tidak mengulangi apa yang terjadi dimasa lalu pada kehidupan dimasa depan. Karena masa depan bukanlah sesuatu yang dapat diraba maka kemampuan berjanji menjadi titik tolakan baru dimana negara menjaga kebebasan dan hak rakyatnya. Hal lain yang tak kalah penting setelah semua tindakan baik itu memaafkan dan berjanji untuk tidak melakukan perbuatan serupa adalah perlu juga dibarengi dengan pengusutan tuntas kasus-kasus yang terjadi dimasa lalu. Para pelaku diseret kemuka hukum dan korban direhabilitasi hak-haknya.




*disampaikan pada diskusi Astina,FIB UI (Kamis 30 September 2010)

Tidak ada komentar: