Minggu, 03 Oktober 2010

Wilde

Satu fragmen itu amat berkesan. Di depan nisan Oscar Wilde mereka memperdebatkan masalah sepele; komedi. Si gadis butuh komedi dari tunangannya yang menganggap komedi bukan hal penting. Bagi si pria, komedi cuma buang-buang waktu, suatu kekonyolan akut, begitu kekanak-kanakan. Si gadis tersinggung luar biasa. Baginya komedi merupakan prinsip. Hidupnya butuh komedi. Tidak bisa ditawar-tawar. Kemudian ia pun menghampiri nisan Wilde dan mengecupnya kuat-kuat hingga meninggalkan bekas kecupan yang juga telah banyak memenuhi nisan Wilde dari gadis-gadis yang begitu mengaguminya. Setelah mencium nisan Wilde si gadis itu pergi dengan kesal. Tinggallah si pria yang terheran-heran, tak habis pikir. Tiba-tiba Wilde muncul dihadapan si pria dan bertanya santai, "Apa kau mencintainya? Apa hidupmu akan baik-baik saja tanpa dia? Kejarlah! Cepat, sebelum terlambat!"

Si pria menyusul kekasihnya. Ia baru menyadari bahwa hidup tanpa kekasihnya adalah hampa. Gadis itu adalah komedi yang mesti hadir dalam hidupnya. Suatu keharusan yang wajib ada.

Disinilah aku berada. Di depan layar televisi menonton film dan menghela napas panjang. Rasanya pusing dan begitu berat. Aku sendirian. Begitu menyiksa. Ingin kabur dari pikiranku sendiri tapi tak mungkin, kecuali aku mati atau hilang ingatan. Aku kembali menghela napas panjang. Ya, dalam hidup mesti hadir komedi. Agar jiwa tak kering kerontang, tak kehausan seperti berada ditengah sahara. Tapi rasanya hidupku lebih kepada komidi putar ketimbang komedi. Aku hidup dalam komidi yang terus berputar. Bagai dalam sebuah karnaval penuh warna-warni cerah, penuh balon, badut dan sebuah komidi putar dengan kuda-kuda cantik. Tiap hari aku duduk tenang diatas kuda berwarna biru, bersiap menunggu komidi putarku berputar dan melarutkanku didalamnya. Hingga pusing, hingga gaduh, dan aku terbang ke angkasa. Namun saak komidiku berhenti berputar, kegaduhanku pun ikut terhenti. Aku kembali sendiri dan lagi-lagi mesti berpikir. Berpikir tentang semua hal.

Aku punya rahasia kecil. Diam-diam aku menyimpan foto Oscar Wilde. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Wajahnya yang biasa saja, kedua sorot matanya yang dalam, dagunya yang panjang, rambut coklat sebahunya begitu memesonaku. Tak sekedar itu, karya-karyanya begitu sederhana. Happy Prince, A Women of No Importance, A Picture of Dorian Gray, ... Oh, semuanya begitu sedehana, biasa saja tetapi kaya makna akan kehidupan. Aku sungguh mengaguminya. Bahkan hampir memujanya. Aku melihat komedi berkejar-kejaran diantara kata-katanya, melihat cinta dari setiap lembar karya yang kubaca. Seolah-olah ia mengajakku menyusuri samudera hidup yang demikian dalam. Membisikkanku kata-kata yang menenangkan. Menguatkanku saat komidi putar yang selalu kunaiki berhenti berputar dan aku sendirian.

"Apakah kau mampu hidup tanpa dia? Apakah kau mampu menghadapi dirimu sendirian tanpa dia yang mencintaimu sepenuh hati? Apakah kau mampu hidup tanpa komedi?" bisiknya lembut ditelingaku.

Mampukah aku sendiri tanpa komedi lagi, Wilde? Aku muak dengan kesendirianku, tetapi melepaskannya dan maju satu langkah kedepan menuju dia? Aku tidak tahu. Rasanya aku belum siap. Aku takut dia tak dapat menerima diriku sepenuhnya. Ibarat bulan, itulah aku. Dari jauh indah tak terperi. Sinarnya yang jernih menentramkan siapa pun yang memandanginya. Seolah-olah keindahan terpatri bersamanya. Mereka sering tidak mau tahu jika permukaan bulan dari dekat sangat jelek sekali. Hanya pengunungan pasir, danau pasir, bolong-bolong. Tidak ada apa-apa disana. Tak ada sejumput keindahan yang bisa ditangktp dari jarak dekat. Mereka pun akan mendengus kesal karena tak mendapatkan apa-apa. Tak ada komedi dalam kesendirian. Semuanya samar-samar.

Aku tak mampu, Wilde. Aku tak mampu hidup dikeduanya. Tolong rasuki aku, Wilde. Bakarlah sekam yang ada dalam jiwaku. Buat aku berkobar lagi. Undang kembali hidupku yang penuh suka cita dalam putaran komedi. Sertakan aku dalam kunjungan imajinasimu. Kau adalah pecinta komedi, begitu pun aku. Komediku tertinggal dimasa lalu saat rasa syukur mengelilingiku setiap waktu. Saat cinta pada hidup menguatkanku untuk terus tersenyum. Kesedihan adalah ruang bawah tanah yang kukunci rapat-rapat. Hidupku benar-benar sebuah karnaval penuh warna warni cerah, balon dan badut. Aku ingin ramai didalamnya dan kesendirian hanyalah sebatas usaha mengistirahatkan diri dari penat sekejab. Begitu menyenangkan berbaur dalam komedi. Tapi aku tak lagi mampu, Wilde. Komediku tertinggal dimasa lalu dan kesendirian sebuah kepenatan penuh rasa sesal dan marah. Aku rapuh, Wilde. Serapuh hati pangeran bahagiamu.

1 komentar:

Rae mengatakan...

paris jet aime?