Selasa, 19 Oktober 2010

Laskar Pelangi, Paulo Freire, dan Summerhill

Laskar Pelangi dan Pedagogisme Paulo Freire

Pernah membaca salah satu buku dari tetralogi Laskar Pelangi terutama buku pertama? Bagi saya buku tersebut amat menarik bagi kajian filosofis pendidikan. Baiklah, saya akan sedikit memberikan garis besar cerita dari buku pertama. Cerita dari buku pertama, Laskar Pelangi mengenai sebelas murid SD Muhammadiyah yang berada di Belitong. Sekolah tersebut merupakan sekolah tua yang bangunannya hampir doyong. Dikala pagi dan siang, bangunan tersebut difungsikan sebagai sekolah. Namun, disore hari sekolah tersebut beralih fungsi menjadi kandang kambing. Sebelas murid SD tersebut merupakan anak-anak kurang mampu yang berkeinginan untuk dapat mengenyam pendidikan demi masa depan yang absurd. Mereka dibimbing oleh seorang guru berhati luas bernama ibu Muslimah yang hanya berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan yang dijunjung tinggi oleh SD Muhammadiyah.

Apa yang menarik kiranya jika kita menilik dari sudut pandang pendidikan? Coba tengok keteguhan para Laskar Pelangi dalam meneguk sari pati ilmu. Segala keterbatasan seperti keterbatasan finansial tidak membuat mereka menyerah pada keadaan dan kondisi lingkungan yang menekan hingga mereka juga harus membantu nafkah keluarga. Semangat ibu Muslimah juga tak kalah luar biasa dalam membimbing murid-muridnya menuju terang ilmu pengetahuan. Keterbatasan sarana dan prasarana tidak menghalangi mereka-baik guru dan murid- untuk terus mengarungi kehidupan dengan pendidikan yang baik sebagai titik tolakan. Sistem yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan dijalankan oleh Pemerintah Daerah rupanya tidak menyentuh SD Muhammadiyah yang miskin dan terabaikan. Namun, ditengah segala kekurangan dan kondisi lingkungan yang kian mendesak dan membikin putus asa, cita-cita yang digantungkan oleh para Laskar Pelangi tak sekalipun padam. Dengan kegigihan serta kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan, cita-cita yang sebelumnya tergantung di awan menjadi berada dalam genggaman.

Lantas apa yang hendak atau dapat dikritisi dari buku tetralogi Laskar Pelangi? Ada sebuah pernyataan menarik dari Paulo Freire mengenai pendidikan yang dominan ada pada masa sekarang ini bahwa pendidikan melayani dominasi dan reproduksi bentuk-bentuk dominasi (Freire:29). Pendidikan sistematis yang lazim ada dan berlangsung selama ini merupakan reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan. Dalam pandangan Freire yang khas Marxist dalam melihat pendidikan terdistorsi pada pengkategorian antara pendidikan borjuis serta pendidikan tandingan yang melawan arus. Dalam deru Kapitalisme yang mereduksi pendidikan menjadi sebatas materi dan keuntungan, Freire mencoba membalikkan kembali makna pendidikan sebagai instrumen pembebasan, sarana untuk mempersoalkan bentuk-bentuk kekuasaan yang mapan. Pendidikan sampai tahap ini bersifat politis sehingga dikatakan pedagogis. Mengapa demikian? Mengapa pendidikan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang politis? Karena pokok persoalannya adalah mengetahui kemana arah aspek politik pendidikan yang dipraktekkan, untuk melayani atau melawan arus yang mendominasi tersebut.

Pendidikan yang membebaskan bagi Freire merupakan pendidikan yang didalamnya terdapat langkah-langkah manipulatif. Pengajar berusaha meyakinkan para peserta dan hal tersebut merupakan fungsi pilihan politik dalam masyarakat politik. Fungsi tersebut jelas antara melayani Kapitalisme atau melawan Kapitalisme. Pendidikan bertalian erat dengan kekuasaan. Dalam struktur masyarakat borjuis kapitalis, pendidikan pekerja adalah pendidikan yang mereproduksi mereka sebagai pekerja dalam masyarakat itu, dan pendidikan borjuis merupakan salah satu alat produksi sehingga membuat kelompok borjuis dominan. Tingkat alienasi dan pengetahuan yang kurang cermat merupakan produk tingkat sosial, politik, ekonomi, dan kultural tempat kelas pekerja harus ditemukan. Sehingga tingkat pengetahuan yang konkret adalah titik berangkat kita bekerja sama dengan kelompok-kelompok populer untuk memperbaiki kondisi mereka sekarang ini. Kaum kelas pekerja harus mengatasi alienasi mereka sendiri, mempertanyakan sendiri alienasi itu (Freire: 54).

Apa kiranya kaitan yang muncul antara pandangan Paulo Freire dengan Laskar Pelangi? Terdapat beberapa titik temu diantara keduanya serta titik persinggungan yang membuat beda. Saya sepakat dengan Freire lewat kerangka Marxist-nya mengenai pendidikan bahwa titik pijakan adalah membuat kelas pekerja atau buruh sadar akan dirinya sendiri yang teralienasi oleh kelompok borjuis. Dalam Laskar Pelangi, para murid SD Muhammadiyah sebagai yang subordinat, yang liyan berusaha mendobrak palang takdir yang mengikat mereka, membuat mereka abai dan terlena bahwa nasib masih bisa diperbaiki. Salah satu caranya adalah dengan pendidikan. Pentingnya pendidikan memang harus disadari oleh masing-masing pihak baik kaum borjuis maupun kelas pekerja. Lewat pendidikan, kelas pekerja memperoleh visi baru bagi kehidupannya. Bagi Freire, pendidikan merupakan sarana terbaik untuk revolusi. Walau demikian Freire menolak menyebut pendidikan sebagai pemicu revolusi. Hal tersebut dapat dipahami karena pendidikan sendiri memiliki dua tujuan, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan, hegemoni Kapitalisme dan melawan segala hegemoni yang mendominasi.

Tetapi, apakah kesadaran kaum pekerja terhadap pendidikan hanya sebatas itu? Sebatas untuk melawan dominasi kaum borjuis? Saya pikir tidak boleh sesederhana itu. Pendidikan memang perlu disadari sebagai sarana untuk melawan arus, namun terlebih dari itu pendidikan adalah untuk hidup itu sendiri. Pendidikan membuka sekat-sekat yang membelenggu manusia, meluaskan visi terhadap hidup. Seperti apa yang diajarkan dan diberikan oleh ibu Muslimah kepada sebelas Laskar Pelangi, ia tak hanya membuka peluang untuk memperbaiki kehidupan para Laskar Pelangi, namun ia juga memberikan harapan tentang hidup yang harus diarungi. Memberikan cinta terhadap ilmu pengetahuan sebagai bekal menyongsong hari esok.

Pertanyaan lanjutan yang muncul kemudian adalah apakah buku Laskar Pelangi bersifat manipulatif dan politis? Atau apakah segala hal yang diajarkan oleh ibu Muslimah kepada murid-muridnya bersifat politis? Ya, setiap hal merupakan tindakan politis. Di dalam politik terdapat hasrat untuk menguasai pihak lain. Tetapi apakah demi revolusi? Belum tentu. Apa yang ibu Muslimah ajarkan kepada sebelas muridnya adalah demi kebaikan. Utopis kah? Naif kah? Melekatkan klaim politis terhadap seseorang maupun masyarakat yang buta terhadap ilmu politik adalah suatu keegoisan tersendiri. Apa yang kita lihat dengan apa yang orang lain lihat seperti Ibu Muslimah lihat belum tentu sama. Hal yang perlu dicermati adalah bukan politis serta manipulatifnya suatu tindakan melainkan tulus tidaknya tindakan yang dijalankan.

Ketidakberdayaan pemerintah untuk merangkul sekolah-sekolah terabaikan seperti SD Muhammadiyah, Belitong lewat tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, memaksa para guru serta murid untuk terus bertahan didalam arus ketidakseimbangan. Pada kondisi ini dipertanyakan apa yang kiranya terjadi dengan anak-anak lucu dan manis ini dimasa depan jika mereka tak lagi mampu mereguk nikmatnya ilmu?

Pendidikan dalam pandangan saya ialah bukanlah sesuatu yang harus menciptakan revolusi maupun bersifat politis demi menguasai apapun. Pendidikan adalah memberikan kesempatan bagi tiap orang untuk mereguk ilmu pengetahuan, kesempatan untuk melakukan apa yang maksimal bagi kehidupannya. Mengajak berpikir dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Terlepas dari pengaruh Kapitalisme maupun Marxisme, pendidikan seharusnya dapat menjadi mercu suar yang menerangi para pelaut dari ketersesatannya pada samudera luas. Pendidikan menjadikan setiap dari kita menjadi bijak dalam menyikapi semua persoalan hidup. Permasalahan apakah pendidikan itu alat perpanjangan tangan Kapitalisme untuk mendominasi atau alat bagi Marxisme untuk melawan arus Kapitalisme, bagi saya segala hal tersebut tidak lah penting selama pendidikan membuka semua ruang bagi Kapitalisme ataupun Marxisme untuk mengembangkan diri menjadi manusia seutuhnya.

Pembebasan ala Summerhill

Ide sederhana Summerhill: memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sendiri. Namun, apa itu Summerhill? Summerhill adalah sebuah sekolah bebas berasrama untuk anak usia TK hingga SMA yang didirikan oleh Alexander Sutherland Neill pada tahun 1921 di Jerman yang kemudian pindah ke Inggris dan terus berdiri hingga sekarang. Summerhill menerapkan prinsip swakelola (self-government) bagi para murid dan staf untuk bebas belajar atau tidak, bebas bermain-main selama berhari-hari atau berminggu-minggu atau bertahun-tahun bila perlu, bebas dari indoktrinasi agama atau moral atau politik, bebas dari pembentukan karakter (Neill: 31).

Neill telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan pada sekitar tahun 1920-an hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Pandangannya terhadap dunia pendidikan dipengaruhi oleh paham psikologi yang ditekuninya. Dalam pandangan Neill, pada dasarnya tidak ada anak yang jahat. Yang ada adalah para orangtua bermasalah, guru-guru bermasalah, dan sekolah-sekolah bermasalah yang melahirkan anak-anak bermasalah. Sekolah-sekolah yang lazim ada tak ubahnya seperti barak militer bagi Neill. Sekolah mencetak manusia-manusia yang takut kepada guru, orang tua, terlebih kepada hidup. Guru-guru yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya menempatkan diri mereka sebagai dewa yang patut ditakuti dan dituruti. Terdapat jurang pemisah yang sengaja diciptakan guru kepada muridnya. Ketertiban menjadi kunci pegangan mereka dalam mendidik murid-murid. Otoritas diktator semacam itu akan membuat anak-anak merasa inferior sepanjang hidup mereka; dan setelah dewasa kelakdan menjadi guru, mereka akan menyalin otoritas guru dengan otoritas bos (Neill: 33). Para guru tak menyadari apa yang tersembunyi di balik ketertiban dan pembentukan karakter yang mereka terapkan, dan bahkan kebanyakan guru tak mau tahu. Salah satu tugas guru menurut Neill adalah menghapus psikologi massa yang membuat semua orang bersuara sama, hanya bisa mengembik seperti kambing.

Pendidikan harus menghasilkan anak-anak sebagai individu sekaligus anggota masyarakat, dan Neill mempercayakan praktik swakelola untuk mencapai hal tersebut. Summerhill merupakan pembuktian kepada dunia bahwa sekolah dapat menghilangkan ketakutan murid terhadap guru dan yang terpenting ketakutan murid terhadap dunia. Di Summerhill tidak ada gengsi. Para pengajar maupun staf lainnya dipanggil dengan nama mereka sendiri tanpa embel-embel "Pak" atau "Bu" didepannya. Summerhill menerapkan kebebasan yang sama dan setara bagi seluruh warganya. Setiap murid memiliki hak serta suara yang sama dengan para staf. Murid boleh memprotes guru, begitupun sebaliknya. Kebebasan merupakan wadah yang menaungi itu semua.

Di dalam bukunya, Summerhill School, Neill mendefinisikan psikologi secara baik. Psikologi diartikan oleh Neill sebagai penyembuhan. Penyembuhan dari apa? Bagi Neill penyembuhan dari ketidakbahagiaan. Anak yang bermasalah adalah anak yang tidak bahagia. Dia berperang dengan dirinya sendiri, dan konsekuensinya dia berperang dengan seluruh dunia. Orang dewasa pun demikian. Menurut Neill, tak ada orang bahagia yang senang bikin onar dalam suatu situasi tertentu. Semua kejahatan, semua kebencian, semua peperangan bersumber dari ketidakbahagiaan(Neill: 40). Ketidakbahagiaan merusak kehidupan manusia. Neill secara cerdas dan tepat mengurai permasalahan ketidakbahagiaan ini dari anak-anak. Summerhill yang dibangun Neill merupakan tempat dimana ketidakbahagiaan anak-anak disembuhkan dan anak-anak diasuh serta dididik dalam kebahagiaan.

Saat pertama kali Neill mendirikan sekolah ini, ia hanya berpegangan pada satu ide pokok yakni membuat sekolah yang cocok dengan anak-anak, bukan membuat anak-anak cocok dengan sekolah. Summerhill berupaya menciptakan anak-anak yang bebas menjadi diri mereka sendiri. Sehingga segala peraturan, moral, arahan, anjuran yang lazim ada pada sekolah-sekolah lain disingkirkan oleh Summerhill. Keyakinan Neill adalah bahwa setiap anak-anak adalah makhluk yang baik. Selama dibiarkan begitu saja tanpa arahan apapun dari orang dewasa, anak akan berkembang sendiri sejauh kemampuannya.

Seperti apakah kehidupan yang dijalani oleh Summerhill? Pelajaran-pelajaran dipilih secara bebas oleh anak. Anak-anak boleh mengikuti pelajaran atau tidak mengikutinya sesuka mereka, selama yang mereka mau. Walaupun aktivitas belajar di Summerhill tidak penting, namun anak-anak memiliki aktivitas lain diluar seperti berteater, bermusik, bertukang, berkebun, dan lain sebagainya. Summerhill menekankan pemuasan terhadap hasrat bermain anak. Ketika anak-anak telah puas bermain sepanjang hidupnya, disitulah anak-anak akan mulai mengambil tanggung jawab yang lebih besar terhadap hidupnya. Tugas anak adalah melakoni hidup dengan kehidupannya sendiri-bukan kehidupan yang menurut orangtuanya mesti dijalani. Semua campur tangan orang dewasa hanya akan membuat anak menjadi generasi robot.

Summerhill merupakan sekolah demokratis yang mengedepankan prinsip swakelola. Segala hal yang bertalian dengan kehidupan bersama atau kelompok, diputuskan lewat voting kelompok dalam Rapat Umum pada setiap Minggunya. Setiap warga sekolah memiliki suara yang sama. Tidak ada pengecualian dalam hal ini.

Apa yang telah dibangun oleh Neill dalam wujud Summerhill memberikan makna baru bagi pendidikan. Pendidikan bukanlah sekedar setiap anak belajar berhitung maupun membaca dan mengaktualisasinya dalam kehidupan nyata. Namun, pendidikan lebih dari pada itu. Pendidikan adalah memberikan hati kepada setiap manusia-dalam hal ini setiap anak untuk tumbuh sesuai dengan apa yang ingin dilakukannya. Kebahagiaan menjadi pijakan yang bagus untuk dapat memahami segala hal yang terjadi pada kehidupan ini. Kebahagiaan yang hendak dicapai Neill buka sekedar kebahagiaan bahwa jika kita tamat sekolah maka akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan hidup berkecukupan. Bahagia dalam definisi Neill adalah menerima segala hal yang terjadi dalam hidup dan bersikap lapang dalam menjalankannya.

Antara Laskar Pelangi dan Summerhill

Apa kiranya benang merah yang menghubungkan antara Laskar Pelangi dan Summerhill? Sederhana saja jawabannya: Cinta. Kedua hal tersebut memiliki satu benang merah yang menghubungkan keduanya dalam perspektif pendidikan yaitu kedua hal tersebut dijalankan oleh prinsip cinta. Baik Laskar Pelangi maupun Summerhill menggunakan metode cinta dalam pendidikan untuk menyentuh inti terdalam manusia. Pendidikan yang disampaikan oleh ibu Muslimah maupun apa yang hingga kini dipegang teguh oleh Summerhill adalah bersadarkan cinta.

Terkesan naifkah? Tidak sama sekali. Berbanyak teori mengenai pendidikan salah satunya adalah apa yang dikemukakan oleh Paulo Freire mengenai pendidikan pedagogis yang khas Marxist kurang menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh dunia pendidikan. Memasukkan dalam-dalam pendidikan kedalam wilayah politis yang hanya mengaitkannya sebatas relasi kuasa mereduksi apa yang bisa diperbuat oleh pendidikan secara lebih luas. Poin penting yang seharusnya diperhatikan dalam pendidikan adalah mengedepankan anak-anak sebagai subjek yang belajar, sebagai titik harapan.


Daftar Rujukan:
• Escobar, M ,dkk.1998. Dialog Bareng Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme yang Licik. Yogyakarta: LkiS
• Neill, A.S. 2007. Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan. Jakarta: Serambi
• Hirata, Andrea. 2007 (cet.10). Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang

1 komentar:

Rae mengatakan...

selama ini gue mikirnya yang namanya sekolah ya pasti feodal. satu-satunya cara untuk dapet pendidikan tanpa dapet budaya feodal ya dengan cara tidak melokalkan pendidikan.
taunya ada juga sekolah kayak summerhill.
thanx infonya.
=D